Langsung ke konten utama

OVER THE RAINBOW



S


helomita berjalan keluar sekolah di tengah-tengah ratusan siswa berbalut tartan. Pandangannya lurus ke depan seolah mengawasi sesuatu yang akan datang dari depan.

”Mit, pulang bareng gak?” sapa seorang cewek mungil dengan rambut ekor kudanya. Shelomita mensejajari langkahnya dengan cewek itu.

”Gak usah..thanks!Aku mau mampir dulu..” jawab Shelomita sembari tersenyum.

”Ok..aku duluan ya!” sahut cewek itu yang kemudian berlari kecil mendahului Shelomita yang sampai di depan gerbang sekolah menyetop taksi.

Shelomita berjongkok menaburkan bunga di kedua nisan di salah satu kompleks pemakaman. Matanya mulai berlinang menahan air mata.

”Pa, Ma..hari ini aku dateng lagi..Maaf ya aku selalu ngeluh setiap dateng ke sini..Aku gak tahu lagi harus ngeluh sama siapa..Aku tahu kalian pasti sedih ngeliat aku..Aku emang belum bisa untuk menerima kepergian kalian, maafin aku..” papar Shelomita seraya sesekali menahan air mata dengan tisu.

”Oya..Oma makin sering marahin aku untuk pulang ke rumah, tapi aku gak mau..Mungkin hari ini dia dateng lagi ke apartemenku..tapi tetap aja aku gak akan mau..” Shelomita berhenti dan ia sudah tidak bisa lagi menahan air matanya, ia menangis sesunggukan di bawah langit sore yang meniupkan semilir angin.

¯¯¯

Dua tahun telah berlalu semenjak kecelakaan tragis yang dialami Shelomita dan kedua orang tuanya. Tapi gadis itu belum bisa untuk menerima kepergian orang tuanya. Setelah bersikeras menolak ajakan Omanya untuk pulang ke rumah, Shelomita duduk di salah satu kursi di beranda apartemennya. Dia sungguh hampir menutup dirinya dari dunia luar, tidak punya banyak teman, tidak ada acara hang out apalagi having fun. Shelomita menoleh ke beranda sebelah. Setahu dirinya, penghuni apartemen sebelahnya itu pindah pagi tadi, dan belum ada yang mengisi hunian di sebelahnya itu. Shelomita tak ambil pusing, toh ada atau tidak penghuninya itu tak kan merubah hidupnya baik siang ataupun malam.

”Saya harap Anda betah tinggal di sini!” kata seorang pria berumur empat puluhan pada seorang pemuda awal dua puluhan di sampingnya. Setelah berpamitan, cowok itu melihat-lihat sekeliling apartemennya. Karena ada urusan siang tadi ia baru tiba di sini menjelang malam. Cowok itu menggeser pintu kaca beranda, angin malam menyeruak masuk, dan mengibaskan rambut pendeknya. Anginnya cukup kencang mengingat dia memilih hunian di lantai 20. Cowok itu leluasa memandang sebagian kota Jakarta pada malam hari. Tak sengaja ia menoleh ke beranda sebelah, pintunya terbuka dan ada sebuah cangkir berisi teh yang masih mengeluarkan asap. Tak lama kemudian ia mendengar dentingan keyboard mengalun dari dalam hunian di sebelahnya, nadanya halus hanya agak menyayat hati. Beberapa lama ia terhanyut dalam alunan lagu itu dan disadarkan oleh terhentinya alunan itu. Bayangan seseorang muncul di pintu beranda, matanya terpaku mengawasi siapa yang akan muncul dari sana. Shelomita muncul dengan piyama birunya, tangan kanannya meraih cangkir di atas meja, gerakannya terhenti setelah menyadari ada sepasang mata yang memperhatikannya. Cowok itu salah tingkah karena ketahuan mengawasinya.

”Hai..saya penghuni baru di sini..lagu tadi kamu yang mainin?Oh, ya..saya..”. Ucapannya terputus karena Shelomita keburu masuk ke dalam dan menutup pintu beranda meninggalkan cowok itu tanpa kata.

”Judes amat..”keluhnya sebal.


¯¯¯

Shelomita bersiap berangkat ke sekolah, ia mengunci pintu apartemennya dan berjalan menuju lift. Pintu hunian di sebelahnya terbuka dan keluar seorang cowok dengan kaos putih dan jaket kulit coklat dipadu  jeans dan sneakers. Shelomita melewatinya tanpa ada basa-basi menyapa sesama penghuni.

Shelomita melirik jam tangannya seraya menunggu pintu lift terbuka. Cowok itu berjalan di belakangnya. Cowok itu ingin menyapa tapi ia ingat kejadian tadi malam sehingga urung menyapa Shelomita. Pintu lift terbuka, kosong, Shelomita masuk diikuti cowok itu. Keduanya diam menunggu lift sampai di lantai 1.

”Eh, kenalin..saya tetangga sebelah, nama saya Ariel!” katanya seraya mengulurkan tangannya pada Shelomita.

”Shelomita!” balas Shelomita tanpa membalas uluran tangan Ariel. Ariel perlahan-lahan menarik tangannya.

”Anjrit!Beneran jutek nih cewek, takut kena kuman kali ya?” pikir Ariel.

Shelomita berjalan ke depan apartemen dan menyetop taksi. Ariel yang berjalan menuju parkiran untuk mengambil motor berhenti sejenak.

”Wuih.. ke sekolah aja naik taksi..pantesan dia jutek, gak pake cara merakyat sih..” gumam Ariel.

Shelomita merenung di dalam taksi sepanjang perjalanan ke sekolah. Ia sudah tingkat tiga, sebentar lagi akan kuliah, pasti Neneknya sedang sibuk memilihkan universitas yang cocok untuknya.

Shelomita keluar dari taksi yang berhenti di depan gerbang sekolah yang bertuliskan SMU GLORY JAKARTA. Shelomita memasuki gedung sekolah dan menyusuri koridor yang mulai ramai oleh murid. Tiba-tiba seseorang menabraknya dari belakang dan hampir membuatnya terjatuh.

”Ups, sorry..gue gak pernah sadar sama orang yang gak famous..” ujar seorang cewek yang penampilannya terlihat beda, kalau Shelomita nyaman dengan seragamnya yang tidak dikecilkan dan santai dengan totte bag bertema autumn, cewek ini serba ramai, rambutnya dikuncir dengan ikat rambut yang banyak rumbainya, tas pink mencolok, aksesoris gelang, kalung cincin dan anting-anting yang bikin sakit mata dan gaya kecentilan khas remaja modern.

”Jelas..karena orang kayak kamu selalu melihat ke atas gak heran kalau leher kamu agak aneh!” celetuk Shelomita yang melewatinya dengan tenang. Cewek itu menatapnya sebal dan tiba-tiba meraba lehernya. Dua orang cowok berbalut tartan merah tertawa kecil di belakangnya, cewek itu menoleh.

”Apa ketawa-tawa?” tanyanya galak. Dua orang itu berhenti tapi wajah mereka menahan tawa.

”Jadi itu sebabnya leher Nona Elara ini terlihat agak aneh?” ledek Tristan.

”Sumpah gue baru tahu...” tambah Kendra sembari tersenyum simpul. Elara meninggalkan mereka dengan sebal dengan langkah tergesa-gesa.

”Shelomita, Shelomita..dia tuh gak pernah ngelawan kalo dikerjain sama Elara..” sahut Tristan sembari melangkah masuk kelas. Kendra mengikutinya di belakang.

”Gak ngelawan sih gak ngelawan..tapi kadang dia ngeluarin kata-kata ajaibnya..” kata Kendra tenang sembari melempar tas di bangku kedua dari depan di sebelah Tristan.

”Gimana soal itu?” tanya Tristan yang berubah agak serius. Kendra duduk di sebelahnya.

”Udah sih..tinggal bilang aja sama dia mau pa gak..” jawab Kendra.

”Hhhh..pasti jawabannya nggak..yang ada dia ngeluarin kata-kata ajaibnya ke gue!” celetuk Tristan. Kendra tersenyum simpul. Kata-kata ajaib adalah seuntai kata yang diciptakan Tristan untuk Shelomita yang pendiam tapi ia bisa mengucapkan kata-kata yang membuat orang surprise mendengarnya. Keduanya memang tidak dekat dengan Shelomita, namun dua orang ini punya misi khusus terhadap Shelomita.

Sepertinya terjadi keributan kecil di apartemen Shelomita sebelum Shelomita pulang dari sekolah. Ada dua buah koper besar berdiri di depan pintu apartemennya. Shelomita yang melihat dari kejauhan segera berlari kecil menuju apartemennya.

” Oma!Apa-apaan sih?” tanya Shelomita keras pada seorang wanita berumur 60-an yang sedang memasukkan sisa bajunya dari lemari kamarnya.

” Membawamu pulang ke rumah!” jawab Omanya. Shelomita menarik nafas kesal.

”Sudah aku bilang aku gak mau!” kata Shelomita, Omanya berjalan ke luar kamar dan duduk di sofa ruang tamu.

”Kau ini sudah hampir dua tahun tinggal di sini seorang diri, kesabaranku sudah mulai habis melihat sikapmu ini !” omel Omanya.

Ariel dan dua orang temannya yang sedang berdiskusi di ruang tamu agak terganggu dengan suara dari kamar sebelah.

”Suara dari sebelah ya, Riel?” tanya salah satu temannya.

”Kayaknya..” ujar Ariel.

”Siapa sih tetangga sebelah lo?” tanya temannya yang satu lagi.

”Cuma cewek SMU yang sok..” jawab Ariel sebal.

Omanya berdiri dan menarik Shelomita keluar apartemen.

”Oma, aku bilang aku gak mau!” teriak Shelomita sembari berusaha melepaskan cengkraman Omanya.

”Kau ini benar-benar keterlaluan!Jangan egois untuk melawanku!Berkali-kali aku minta kau untuk pulang tapi kau tidak mau tapi sekarang aku benar-benar marah dengan sikapmu!” omel Omanya, suaranya menggema di koridor lantai 20 ini. Ariel dan temannya terpaksa melongokkan kepala melihat apa yang sedang terjadi.

”Aku bener-bener gak bisa pulang ke rumah,Oma!” bantah Shelomita.

”Kau ini sebentar lagi lulus SMU dan akan kuliah, tapi sikapmu masih seperti anak-anak, aku sungguh malu pada orang tuamu karena tidak bisa mendidikmu!” omel Omanya lagi. Shelomita menarik nafas lagi.

”Oma, please..aku 17 tahun..bukan anak-anak lagi..aku bebas nentuin apa yang aku mau..” kata Shelomita.

”Justru karena 17 tahun aku ingin kau kembali ke rumah, bisa-bisanya kau melakukan ini padaku, hah!Kau ini harus belajar merelakan!” omel Omanya seraya memukul Shelomita dengan tas tangan hitamnya. Shelomita mengaduh kesakitan. Ketiga orang yang sedang mengintip kejadian itu kaget melihatnya.

”Trisno!Bawa turun koper-koper ini, masukkan ke mobil!” perintah Oma Shelomita pada seorang pria 30 tahunan yang keluar dari apartemen Shelomita.

”Oma gak ngerti apa yang aku rasain!” teriak Shelomita. Omanya menatapnya.

”Rasa sakit di kakiku ini gak seberapa sakit dibanding perasaan aku!” lanjut Shelomita, matanya mendung menahan tangis. Trisno urung membawa koper-koper itu ke bawah.

”Hati aku bener-bener sakit saat mereka pergi.. Oma gak ada di sana saat kecelakaan itu terjadi kan?Aku ada di sana, Oma..Aku ngeliat semuanya..” papar Shelomita berurai air mata, mengatakan kata ’kecelakaan’ saja membuatnya mengeluarkan air mata apalagi harus menyebut nama kedua orang tuanya.

”Maka dari itu aku ingin kau pulang dan belajar untuk merelakan itu!Aku ini selalu gelisah setiap hari karna kau tidak ada di rumah!” omel Omanya namun tidak sekeras tadi.

”Oma..aku akan pulang ke rumah kalau aku siap nanti, lagian aku baru dua tahun ringgal di sini..” ujar Shelomita. Omanya memukulnya lagi dengan tas. Shelomita mengusap-ngusap bahunya yang kena pukul.

”Besok kau akan bilang 3 tahun lagi!” omel Omanya. Shelomita mengusap sudut matanya yang basah. Omanya terlihat tidak semarah tadi.

”Baiklah..tapi aku tidak akan memberi kompensasi lagi untuk selanjutnya, bila terjadi apa-apa aku terpaksa menyeretmu pulang!” ancam Omanya kemudian meninggalkannya, Pak Trisno menghampiri Shelomita.

”Yang sabar ya, Non..” kata Pak Trisno, Shelomita mengangguk. Pak Trisno memang sudah bekerja di rumahnya sejak masih remaja maka dari itu ia sangat mengenal watak orang-orang di rumah Shelomita. Shelomita membawa masuk kopernya kembali, Ariel berjalan ke depan pintunya dan membantu membawa koper hitam Shelomita ke dalam. Shelomita melihatnya.

”Biar saya bantu..” kata Ariel, Shelomita tidak menolak.

”Maaf kalau tadi mengganggu..” ujar Shelomita pendek. Ariel mengangguk mengerti, ia ingin bertanya namun urung takut terkesan ikut campur.

”Thank’s ya..” kata Shelomita saat mengantar Ariel ke depan pintu.

”Sama-sama...kan tetangga..” gurau Ariel, Shelomita tersenyum kecil. Ariel kembali ke apartemennya.

”Cari muka lo ya?” ledek temannya ketika Ariel kembali bergabung di ruang tamu.

”Kasian, kopernya gede-gede banget!” jawab Ariel sekenanya.

”Jadi..cewek itu tinggal sendiri?” pikir salah satu temannya agak bingung.
”Kayaknya sih..gue belum pernah ngeliat ada orang lain di apartemennya..” kata Ariel.

”Hhh..cewek SMU tinggal sendiri di apartemen..putri dari mana dia?” gumam temannya yang satu lagi. Dua orang itu mengangkat bahu tidak tahu.

¯¯¯


Shelomita makan siang di kantin sekolah bersama Phoebe di salah satu meja di sudut kantin yang cukup penuh dan ramai.

”Jadi, kamu gak jadi pulang ke rumah?” tanya Phoebe seraya menuangkan sambal di bakso-nya. Shelomita mengaduk es tehnya perlahan.

”Nggak..aku masih pengen sendirian..” jawab Shelomita.

”Kasian Oma kamu loh..dia kan gak punya cucu selain kamu..” ujar Phoebe.

”yak..kasian sekali...apalagi cucu tercintanya yang sok tinggal di apartemen ini yang sok pulang pergi ke sekolah naik taksi ini..Sungguh orang yang aneh!” sambar Elara yang berdiri di samping Shelomita sembari membawa kipas pink berbulu.

”Dan sungguh leher yang aneh..” balas Tristan yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang Elara. Elara mendelik.

”Kenapa kalian berdua selalu muncul dari belakang?” sindir Elara.

”Karena kami bukan hantu centil yang tiba-tiba muncul dari depan!” jawab Kendra. Shelomita tersenyum kecut mendengarnya, Elara segera pergi ke luar kantin karena Shelomita di backing dua orang menyebalkan. Kendra duduk di samping Phoebe. Phoebe seakan aphrodite, Kendra duduk di sampingnya.

”Boleh gabung kan?” tanyanya. Shelomita menatapnya.

”Karena udah duduk silakan aja..” jawabnya santai. Tristan duduk di samping Shelomita.

”PAK!MIE AYAM 2!” Teriak Tristan pada penjual mie ayam di ujung kantin.

”Hhhhh..kenapa sih Elara itu selalu gangguin lo, Ta?” tanya Tristan setelah menerima pesanan softdrink-nya.

”Setahu aku dia gangguin semua orang kok..” kata Shelomita merendah. Meski tidak satu kelas Shelomita kenal dengan Tristan dan Kendra sejak SMP, orang tua mereka mengenal keluarga Shelomita bahkan mereka hadir saat pemakaman kedua orang tua Shelomita. Rambut sebahu Shelomita tertiup angin yang mulai menyerbu kantin siang itu. Shelomita memiliki rambut sebahu yang agak keriting, terlihat unik dengan poni yang dijepit dengan hairpin teddy.

”Gimana kabar Oma kamu?” tanya Kendra sembari bergumam terima kasih pada pelayan yang mengantarkan pesanannya. Tampang Tristan agak bingung dan ia hampir tersedak bakso tenis yang dimakannya.

”Baik dan tambah cerewet..” jawab Shelomita. Sikap Phoebe salah tingkah karena ia  bisa sedekat ini dengan Kendra.

”Ooo...oya, kita berdua ada tugas membuat sheet music, bisa bantu gak?” tanya Kendra, Tristan kembali hampir tersedak. Shelomita tampak berfikir.

”Boleh..pulang sekolah nanti aku senggang...ok..kita duluan yah!” ujar Shelomita segera beranjak dari kursinya bersama Phoebe. Shelomita tahu kedua orang itu baik padanya terutama Kendra jadi ia tak menolak untuk membantu mereka. Kendra dan Tristan mengangguk. Setelah keduanya menghilang dari pintu kantin, Tristan segera menghabiskan bakso di mulutnya sesegera mungkin.

”Wah..lo sakit Bro..lo tadi bilang ’kamu’?” tanya Tristan tidak percaya. Kendra segera menyeruput es tehnya dan bersiap membayar. Tristan segera menghabiskan sisa bakso di mangkoknya.

”Wah..ada yang gak beres nih sama lo..” tebak Tristan. Kendra berdiri setelah memberikan uang pada penjual bakso yang kebetulan lewat di sampingnya dan beranjak pergi. Tristan segera mengejarnya.

”Eh, lo belum jawab pertanyaan gue..”protes Tristan mengejar Kendra.

“Tan..lo inget misi kita kan?” Kendra balik bertanya mencoba mengalihkan pembicaraan. Tristan berhenti dan berfikir.

”Gue inget..tapi lo gak pernah kayak gini sebelumnya..jangan-jangan..” pikir Tristan yang sudah tertinggal Kendra di depan.

¯¯¯

”Jadi kamu jadi bantuin mereka buat tugas?” tanya Phoebe di telepon.

”Iya, sebentar lagi mereka dateng..kalau mau kamu dateng aja..” ajak Shelomita.

”Yah..aku mesti jemput Papaku di bandara..lain kali aja kali ya..” jawab Phoebe. Phoebe sebenarnya ingin datang karena ada Kendra, tapi apa daya Ayahnya akan tiba dari Bali sebenatar lagi, ia harus menjemputnya.

Tristan dan Kendra menunggu pintu lift terbuka, Ariel yang baru masuk apartemen, berdiri di belakang mereka.

”Kenapa Miss Renata ngasih tugas yang susah..gue bener-bener gak ngerti bikin tugasnya!” keluh Tristan.

”Makanya untung gue minta bantuan kan?” balas Kendra. Ariel memperhatikan seragam sekolah mereka, rasanya ia juga pernah melihat seragam yang seperti itu sebelumnya, pintu lift terbuka, merekapun masuk, Kendra menekan tombol 20 di sampingnya.

”Sebenernya gue takut digonggongin, Ken..apa boleh buat..Lo udah bertindak tanpa diskusi dulu ma gue!” keluh Tristan lagi. Kendra meliriknya.

”Lo tuh ngeluh mulu!Ntar lama-lama jadi sapi lo!” protes Kendra. Pintu lift terbuka, merekapun keluar diikuti Ariel.

”Itu mah melenguh!” cela Tristan. Kendra acuh sembari mencari nomor 2017.

”Nilai bahasa asing tinggi gak menjamin bahasa ibu seseorang itu bagus!” ledek Tristan. Kendra berhenti di depan pintu bernomor 2017. Ariel baru ingat ia pernah melihat seragam Shelomita, ternyata dua orang ini mencari Shelomita. Kendra menekan tombol di interphone.

”Siapa?” sahut suara dari interphone.

”Kendra, Ta!” jawabnya. Pintu terbuka, keduanya masuk. Shelomita membawa tiga cangkir teh ke ruang tamu.

”Duduk!” katanya. Tristan sembarang menempatkan bokongnya di sofa coklat itu.

”Beneran gak sibuk kan?” tanya Kendra. Shelomita duduk di sofa yang lebih kecil di samping Kendra.

”Kalian tahu kalau aku bukan orang yang sibuk..jadi..tugasnya apa?” jawab Shelomita. Kendra tersenyum, orang ini memang murah senyum, segera Tristan mengeluarkan buku tugasnya dan memberikannya pada Shelomita.

”Oh..aku udah dikasih tugas ini sama Miss Renata minggu kemarin!” kata Shelomita.

”Bagus itu, berarti lo bisa kerjain tugas kita!” sambar Tristan cepat. Kendra mendelik.

”Bukan kerjain Tan, tapi ajarin!” protes Kendra. Tristan mengibaskan tangan dan berdiri menuju beranda.

”Gak papa kok..selagi aku bisa bantu!” kata Shelomita. Kendra menggerakkan bibirnya mengucap kata maaf.

”Ta, Lo punya makanan gak?” tanya Tristan, membuat Kendra mengelengkan kepala.

”Oh, iya, lupa, tunggu aku ambilin!” kata Shelomita segera beranjak dari duduknya.

”Eh, gak usah, Ta!Kalo mau biar dia ambil sendiri!” tukas Kendra sembari menahan tangan Shelomita yang buru-buru ia lepaskan saat Shelomita melihatnya. Tristan bersungut-sungut mendengarnya dan segera berjalan menuju pantry.

”Huh..kayaknya gue udah mulai tahu alasan tuh bocah!” gumamnya sembari membuka kulkas. Shelomita dan Kendra sibuk mengerjakan tugas tapi Tristan enak-enakkan di beranda sembari mengunyah sepotong pizza. Ariel muncul di berandanya dan melihat Tristan, Tristan mengangkat pizza-nya pada Ariel yang dibalas anggukan Ariel. Ariel berusaha mencari Kendra tapi tidak terlihat.

Shelomita bersandar di sofa setelah selesai membantu Kendra membuat tugasnya. Kendra menatap kagum kertas di tangannya, Shelomita pandai menerjemahkan lagu ke dalam not-not balok lengkap dengan kunci G dan kawan-kawan.

”Wah..thank’s ya, Ta!” ujar Kendra seraya mengambil salah satu cangkir berisi teh. Shelomita tersenyum. Kendra berjalan menuju beranda tapi langkahnya beralih ke keyboard yang ditempatkan di dekat ruang tv.

”Masih main ini?” tanya Kendra pada Shelomita. Kendra tahu Shelomita pandai memainkan lagu di keyboard bahkan piano. Tapi Kendra juga tahu Shelomita sekarang enggan bermain lagi. Kendra duduk di depan keyboard. Shelomita menghampirinya.

”Kamu dateng ke sini karena mau ngajak aku ikut festival seni tahunan GLORY kan?” tanya Shelomita. Kendra agak terkejut, kemudian menggaruk kepalanya.

”Ketahuan deh..tapi beneran loh aku ada tugas bikin sheet music!” ujar Kendra cepat.

”Ok...tapi kamu tahu aku gak akan nerima ajakan kamu..” kata Shelomita.

”Sudah aku duga..” keluh Kendra. Sekarang Tristan tertidur di kursi di beranda. Kendra mencoba menekan tuts keyboard, mencoba sebuah lagu, tapi justru suara sumbang yang keluar. Shelomita duduk di samping Kendra.

”Kamu mainin nada dasar..” ucap Shelomita, Kendra mematuhinya. Shelomita menekan tuts bersamaan dengan Kendra. Mengalunlah melodi ceria yang terdengar sampai ke apartemen Ariel, Ariel berjalan ke beranda dan mendapatkan Tristan tertidur di salah satu kursi. Shelomita tidak tahu kenapa ia bisa duduk di sana.

”Yang satu kemana?” pikir Ariel.

”Wah..kayaknya harus les musik nih sama kamu..” kata Kendra setelah Shelomita menemaninya memainkan sebuah lagu. Kendra bisa membuat suatu pertanyaan atau kalimat yang tidak menyinggung perasaan orang.

”Sayangnya gak bisa..” kata Shelomita pelan sembari menatap deretan tuts di keyboardnya. Kendra menyadarinya.

”Wah..maaf ya jadi bikin sedih..” ujar Kendra. Shelomita tersenyum kecut.

”Aku tahu kamu bermaksud baik..thank’s ya..” kata Shelomita.

”Heh..udah sore pulang!” sahut Tristan yang terlihat meregangkan badannya setelah cukup lama tertidur. Kendra beranjak dari duduknya.

”Ok..kita pulang ya, Ta..thank’s!” ujar Kendra seraya menangkap ranselnya yang dilemparkan Tristan. Keduanya keluar, diantar Shelomita.

Tristan memukul Kendra dengan tas ranselnya. Kendra mengaduh kesakitan sembari mengelus kepalanya.

”Lo suka kan sama dia?” tanya Tristan, kali ini ia serius. Kendra menatap tanah.

”Gak akan..” jawabnya.

¯¯¯

Tristan asyik bermain playstation di ruang tengah Rumah Kendra. Kendra asyik mendengarkan musik dari ipod-nya.

”Jangan deketin dia kalo lo Cuma ngerasa kasian, Ken!” kata Tristan. Kendra melepas earphone-nya, kemudian memperbaiki posisi duduknya di sofa.

”Gue gak pernah kasian sama dia..Kan lo yang ajarin gue jangan pake perasaan!” sergah Kendra.

”Iya..tapi misi kita gagal..Dan siapa yang bakal memainkan piano di festival musik nanti?Lo udah janji ma Nyokap lo kalo lo bisa ngeyakinin Shelomita buat main lagi..Sekarang apa?” terang Tristan sembari berdecak sebal karena kalah. Kendra nampak berfikir sebentar.

”Ngomong-ngomong lo lihat cowok yang barengan ma kita di lift apartemen Shelomita gak?” tanya Kendra berubah jadi serius. Tristan mencomot bakpia yang dibeli Kendra di depan rumah.

”Jangan ngalihin pembicaraan deh lo!” ucap Tristan sebal.

”Gue serius!” balas Kendra yang tidak terima dirinya disebut mengalihkan pembicaraan.

”Lihat pas gue di beranda, kenapa emang?” tanya Tristan sebal, ia sudah berbaik hati membantu Kendra mendekati Shelomita, tapi sahabatnya itu malah menghancurkan rencana mereka.

”Perasaan, gue pernah lihat tuh cowok sebelumnya..” gumam Kendra. Tristan melempar bantal yang ada di sofa ke muka Kendra, Kendra bersungut kesal.

”Apa-apaan sih lo?Kok gue dilempar bantal?” marah Kendra.

”Sekarang lo bener-bener pake perasaan kan?” ejek Tristan.

”Ok..cowok itu familiar buat gue..” ralat Kendra. Tristan tersenyum penuh kemenangan.

”Bodo amat!Yang penting gimana caranya kita bisa bikin Shelomita mau ikut festival musik nanti..Kan lo yang bilang gak ada yang sebaik dia, Iya kan?” papar Tristan.

Ariel membereskan tugas-tugas kuliahnya yang berserakan di ruang tamu. Tempat kuliahnya yang baru benar-benar terlalu serius, memberikan tugas begitu banyak.

”Dua anak SMU kemaren..kayaknya pernah gue lihat sebelumnya tapi dimana ya?” pikirnya saat mengingat Tristan dan Kendra yang datang ke apartemen Shelomita kemarin.

Ariel membawa sekotak brownis ke tempat Shelomita. Ia menekan bel, dan pintu terbuka, Shelomita muncul dengan sundress biru cerah.

”Maaf ya ganggu..” kata Ariel. Shelomita melebarkan pintu.

”Masuk!” katanya. Ariel masuk dan duduk di sofa ruang tamu.

”Ada apa?” tanya Shelomita.

”Oh, ini tadi pagi beli brownis sekalian aja beli dua, nih buat kamu..” kata Ariel seraya mengulurkan sekotak brownis pada Shelomita.

”Makasih ya!”. Ariel mengangguk.

”Kok temennya gak dateng lagi?” tanya Ariel. Shelomita agak terkejut mendengarnya.

”Oh, gak, kemarin karena ada tugas aja..Oh ya, mau minum apa?” tanya Shelomita. Ariel beranjak.

”Gak usah deh, thank’s..masih ada tugas..” tolak Ariel yang segera melangkah menuju pintu. Shelomita mengangguk maklum dan mengantarkan ke pintu.

¯¯¯

Ariel menatap sebuah foto di dalam bingkai hitam, potret dirinya dengan saudara sepupunya yang diambil saat sepupunya itu menjadi juara rally setahun lalu. Ariel sungguh dekat dengannya walau saat itu Ariel masih sekolah di Surabaya. Namun masa lalu itu tidak ada lagi di masa sekarang.

Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam tapi Kendra belum juga tidur, ia bersandar di pinggir ranjang sembari memegang sheet music yang dua hari lalu dibuatkan Shelomita. Memang Kendra tidak begitu dekat dengan Shelomita, meski mereka satu sekolah sejak SMP, Kendra hanya mengenalnya saat dirinya diajak ke acara ulang tahun pernikahan orang tua Shelomita saat masih SMP, saat itu Shelomita menghadiahkan orang tuanya sebuah lagu yang ia mainkan dengan piano di hadapan para tamu. Yang Kendra tahu, Shelomita memang pandai bermain piano, karena dari kecil Ibunya mengajarinya bermain alat musik itu, Shelomita juga punya banyak tropi juara festival musik sejak ia masih kecil. Kendra ingat saat itu ia sempat melihat puluhan tropi di ruang tamu rumah orang tua Shelomita. Tapi, sejak kecelakan tragis yang menewaskan orang tuanya, Shelomita berubah menjadi pemurung, hal itu terjadi sejak dua tahun lalu, saat mereka masuk SMU Glory. Setahu Kendra, Shelomita menutup diri dari lingkungannya dan hanya Phoebe, teman Shelomita. Bahkan ia tinggal di apartemen saat usianya 15 tahun. Sudah dua tahun ini Festival musik di sekolahnya tidak meriah karena tidak ada alunan lagu dari piano, dan itu membuatnya tergerak untuk membuat Shelomita kembali memainkan piano. Tristan bersedia membantunya namun gagal, entah rencana apa lagi yang akan ia lakukan.

Pagi itu cuaca mendung dan agak gerimis. Shelomita keluar dari taksi dan membuka payung birunya. Sampai di gedung sekolah ia mengibaskan payungnya, kemudian menaiki beberapa anak tangga menuju ke kelasnya. Baru beberapa anak tangga, Elara berjalan menujunya dari depan dan entah sengaja atau tidak Elara menabrak bahunya, membuat keseimbangannya hilang dan terpeleset di anak tangga.

”Ups, sorry..makanya kalo jalan jangan sambil ngelamun!” ucapnya tanpa menolong Shelomita. Shelomita meringis menahan sakit di kaki kanannya, ia mencoba bangun tapi tidak bisa. Phoebe muncul dan buru-buru menolongnya.

”Mita?Kamu gak papa?” tanya cemas sembari membantu Shelomita bangun. Kendra dan Tristan muncul dan segera berlari ke arah mereka.

”Pasti Si Elara lagi deh..” keluh Tristan.

”Bisa jalan gak?” tanya Kendra. Shelomita menggeleng, matanya mulai mendung. Kendra menggendong Shelomita ke ruang UKS. Phoebe membawakan tas Shelomita diikuti Tristan.

Pergelangan kaki Shelomita membiru, dokter jaga membalutkan perban di pergelangan kakinya. Kendra, Tristan dan Phoebe berdiri mengelilingi Shelomita.

”Si Elara itu emang keterlaluan!” umpat Tristan. Shelomita mencoba bangun dan berdiri, Kendra membantunya.

”Dok, saya minta surat izin pulang aja deh..Saya mau istirahat di rumah..” kata Shelomita, dokter itu mengangguk dan berjalan menuju mejanya membuatkan surat izin.

”Aku temenin ya, Ta!” kata Phoebe. Mereka berempat berjalan ke luar sekolah. Kendra membantu Shelomita berjalan.

”Gak usah, Bi..Kan ada ulangan fisika, sayang kan kamu gak masuk..biar nanti aku ikut ujian susulan..” papar Shelomita meyakinkan Phoebe. Phoebe mentapnya kasihan, Shelomita tidak pernah membalas perlakuan jahat Elara, apapun itu entah mengapa Elara begitu tidak suka pada Shelomita.

”Aku ambil mobil Nyokap dulu yah..kamu tunggu sini..” kata Kendra seraya menyerahkan Shelomita pada Phoebe dan Tristan.

”Aku naik taksi aja Ken!” tolak Shelomita.

”Untuk yang ini jangan bilang gak usah deh..tunggu bentar!” balasnya seraya melesat ke ruang kepsek dan berlari menuju parkiran.

Kendra mengantarkan Shelomita ke apartemen dengan mobil Ibunya. Tristan dan Phoebe tidak ikut, mereka punya rencana untuk Elara.

”Aku minta maaf ya bikin kamu repot..” kata Shelomita pelan. Kendra menoleh dan tersenyum kemudian kembali menatap jalan di depan.

”Gak usah sungkan gitu, Ta..kita kan kenal udah lama..tenang aja..” ujar Kendra.

”Emang kamu gak malu temenan sama aku?Kamu kan tahu..anak-anak di sekolah nganggep aku apa..” ujar Shelomita.

”Kenapa mesti malu..aku berteman sama siapa aja..Kecuali Elara..” balas Kendra. Shelomita tersenyum, sudah lama Kendra tidak melihatnya tersenyum.

Tristan berdiri di balik didnding arah toilet wanita. Phoebe masuk ke kelas Elara dan menghampiri kursinya. Elara menatapnya galak.

”Mau ngapain lo?Nuntut gue?”tanyanya galak. Phoebe menggeleng.

”Gue Cuma nyampein pesan ke elo, Ra..Gue disuruh Arya manggil lo dia ada di..”.

”ARYA?Omg..thank’s ya, Bi..” sambar Elara sebelum Phoebe menyelesaikan kalimatnya, Elara sudah melesat keluar mencari Arya. Phoebe tertawa dalam hati, kemudian bergegas menyusul Elara.

Elara celingak-celinguk mencari sosok Arya, siswa tingkat 3 Sos yang dikaguminya, tapi ia belum menemukan orang yang dicarinya. Elara berhenti di depan toilet wanita, dan ragu sebentar melihat pintu toilet, kemudian tersenyum nakal. Tristan buru-buru menutup pintu toilet yang dimasuki Elara. Elara yang sadar dirinya dijebak, segera berteriak sembari mengedor-gedor pintu. Tristan dan Phoebe melakukan tos di depan toilet dan segera pergi dari sana.

Kendra membantu Shelomita masuk lift. Seorang satpam menghampiri mereka.

”Non Mita kenapa?” tanyanya khawatir.

”Cuma kepeleset kok, Pak..gak kenapa-napa..” kata Shelomita. Satpam itu mengangguk membiarkan mereka naik ke  atas. Satpam itu berjalan menuju lobi apartemen dan menelepon seseorang.

Kendra membuka pintu apartemen dan membawa Shelomita ke kamar.

”Makasih ya, Ken udah nganter sampe sini..” kata Shelomita.

”Tuh kan..kamu kebanyakan bilang terima kasih deh..” guaru Kendra.

”SHELOMITA!!” seseorang masuk memanggil Shelomita, Shelomita tahu pemilik suara itu, sepertinya satpam apartemen menelepon Omanya. Omanya menyeruak masuk ke kamar. Kendra mengangguk sopan padanya.

”Kenapa kaki kamu?” tanyanya khawatir.

”Cuma kepelest di tangga kok, Oma..” jawab Shelomita.

”Kita ke dokter Susan aja!” ajaknya cepat.

”Gak usah, nanti juga sembuh kok..” tolak Shelomita.

”Heh, sudah ku bilang aku sungguh khawatir denganmu apalagi kalau menyangkut soal..”.

”Ok..nanti kita ke dokter!” sambar Shelomita cepat. Omanya menatapnya maklum dan beralih pada Kendra yang masih berdiri tak jauh darinya.

”Kamu siapa?” tanyanya sembari menatapnya dari ujung kaki sampai ujung rambut.

”Saya Kendra, Oma, temen sekolah Shelomita..” jawab Kendra sopan.

”Kau yang membuat cucuku seperti ini, hah?” tanyanya galak. Kendra menggeleng-gelengkan kepala.

”Bukan Oma..malah dia yang anter aku pulang..jangan galak dong ah!” sergah Shelomita.  Oma menatapnya Kendra sekali lagi.

”Kau anak Darma, iya?” tanyanya. Kendra mengangguk cepat, ternyata wanita di depannya ini masih mengingatnya.

”Ya sudah..terima kasih sudah mengantar cucuku pulang..” kata Oma sedikit tenang. Kendra mengangguk sembari tersenyum.

”Kenapa kau masih disini, sana pulang!” bentak Oma membuat Kendra segera melesat keluar. Shelomita mentap Oma tanda protes. Kendra muncul dari balik pintu.

”Cepet sembuh, Ta!” katanya yang segera pergi sebelum Oma membentak untuk kedua kalinya.

”Aku sungguh khawatir melihatmu..kenapa kau tidak pulang saja ke rumah, hah?kakimu tidak seperti dulu lagi!” omel Oma.
”Aku gak apa-apa, Oma..Cuma kepeleset..” bantah Shelomita.

”Dia itu pacarmu?” tanya Oma tiba-tiba. Shelomita menatapnya tidak percaya.

”Tentu aja bukan, dia temen sekolah aku..” bantah Shelomita.

”Iya Oma tahu..dia satu sekolah denganmu sejak SMP, Ibunya kepala sekolahmu kan?” tanya Oma, Shelomita mengangguk.

¯¯¯

Kendra dan Tristan pergi ke toko buku mencari referensi tugas sosiologi. Tapi yang dilihat Tristan hanya buku musik dari tadi.

”Heh, baca yang bener dong..yang kita cari buku sosiologi bukan Korn atau POD!” bentak Kendra. Tristan menggumam tak jelas dan beranjak ke rak buku dimana Kendra berdiri.

”Ada yang ngeganjel di pikiran gue, Ken!” ujar Tristan serius sembari mengambil sebuah buku yang disarankan Kendra.

”Gue pikir di gigi lo!” ledek Kendra membuat Tristan bersungut-sungut tapi tak lama kemudian dia bersemangat lagi.

”Lo tahu kan kecelakaan dua tahun lalu, Shelomita sama Bonyoknya!” kata Tristan, Kendra mengernyitkan dahi.

”Inget, emang kanapa?” Kendra balik bertanya. Tristan menjentikkan jarinya, membuat Kendra mengerjapkan mata.

”Bonyoknya tewas di tempat, Ken..tapi lo liat Shelomita..dia selamet, Bro!” ujar Tristan. Kendra menggeleng-gelengkan kepala.

”Lo gak seneng dia selamet?” bentak Kendra.

”Bukan itu..tapi yah..kita tahu kecelakaan itu tragis banget,,mobilnya ancur masuk jurang, terbakar pula, tapi Shelomita gak kenapa-napa..Aneh kan?” papar Tristan. Kendra memikirkan perkataan Tristan. Memang mobil yang ditumpangi mereka masuk jurang terbakar dan meledak membuat orang tua Shelomita tewas di tempat bahkan mayatnya sudah tidak utuh lagi. Tapi yang Kendra tahu, Shelomita yang saat itu baru berusia 14 tahun melompat sesaat sebelum mobil mereka meledak, dan Kendra tidak tahu bagaimana lagi. Memang Shelomita sempat menghilang sesaat dan yang ia tahu Shelomita dirawat di rumah sakit dan tiba-tiba sudah terdaftar di SMU yang sama. Benar kata Tristan, kecelakaan itu begitu tragis, mustahil ada orang yang selamat.

”Yah..mungkin itu keajaiban kali!” ujar Kendra tenang, membuat Tristan mau protes. Kendra tahu apa yang dikatakan Tristan ada benarnya tapi ia tidak mau ambil pusing.

Shelomita meraih tasnya dari atas meja belajar dan segera berangkat ke sekolah, memang kakinya masih sakit tapi ia masih bisa berjalan.

”Elara benar-benar keterlaluan, selama ini aku udah ngalah, tapi kemarin dia hampir membuatku celaka..”pikir Shelomita sembari mengunci pintu apartemennya. Shelomita menekan tombol di samping lift. Tapi layar di atas lift hitam tidak ada nomor petunjuk lantai. Shelomita engeluarkan ponselnya.

”Pak, liftnya kenapa?” tanya pada satpam yang bertugas di lobi.

”Ada kerusakan, Non..Lagi dibenerin sama tukang servisnya nih..” jawab satpam itu. Shelomita menekan salah satu tombol di ponselnya. Ia bergegas menuju ujung lorong, di sana ada lift barang. Shelomita menemukan lift dalam keadaan mati, ia melirik jam tangannya, hampir pukul 7 pagi. Shelomita melirik tangga daruratdi samping kiri lift barang. Shelomita mendengus kesal. Ini lantai 20, jangankan dengan kaki yang sehat menuruni ratusan anak tangga akan terlambat juga ke sekolah, apalagi dengan keadaan kakinya yang masih sakit. Shelomita menuruni anak-anak tangga perlahan, ia tidak bisa untuk tidak datang ke sekolah, hari ini ia akan ikut ujian susulan fusika. Baru beberapa anak tangga ia lalui, ia mengurut kakinya, sesekali ia meringis. Peluh mulai membasahi dahinya.

”Mas, gimana udah belom?” tanya seorang satpam pada teknisi mesin yang masih berkutat memperbaiki mesin di belakang lift.

”Kayaknya ada yang sengaja ngerusak mesinnya nih, Pak!” kata teknisi.

”Ngerusak gimana?” gumam satpam itu tidak percaya.

Kendra berdiri di depan gedung sekolah sembari sesekali melirik jam tangannya. Phoebe menghampirinya.
”Kendra, nungguin siapa?” tanya ramah. Kendra tidak menolehnya matanya terus terpaku pada gerbang sekolah.

”Shelomita belom dateng..” jawabnya. Phoebe agak sebal melihatnya.

”Tadi dia telpon dia dateng telat, soalnya lift di apartemennya rusak, jadi dia pake tangga darurat buat turun kebawah..” papar Phoebe. Kendra menatapnya tak percaya, kemudian berlari keparkiran dan tiba-tiba sudah melesat ke luar gerbang tak menghiraukan teriakan satpam yang akan menutup gerbang karena bel akan segera berbunyi. Phoebe terlihat kecewa, kemudian berbalik menuju kelasnya.

Shelomita bersandar di selusur tangga, ia melirik papan di depannya, baru lantai 16. Shelomita kembali menuruni anak-anak tangga, ia melihat ke bawah, lantai satu masih jauh di bawah sana. Dia tak habis fikir ini bisa terjadi selama dua tahun tinggal di sini, lift itu tidak pernah bermasalah sebelumnya.

Kendra berlari melewati lobi apartemen dan menaiki tangga. Ia tidak bisa membiarkan Shelomita turun tangga sedangkan kakinya masih sakit ditambah hari ini dia akan ikut ujian susulan. Ia hampir menabrak seorang cowok yang sedang menuruni tangga.

”Sorry, Sorry!” ujar Kendra mengatupkan kedua tangannya dan berlari melintasi anak-anak tangga. Ia merogoh saku celananya dan menekan beberapa tombol.

”Ta, kamu tunggu di situ aku lagi nyusul kamu!” kata Kendra cepat.

”Eh..Kendra..Ken..” panggilan terputus. Shelomita melihat ke bawah selusur tangga, ia bisa melihat Kendra sedang berlari ke atas.

”Ngapain sih dia di sini?” pikir Shelomita Kendra tiba dengan nafas terengah-engah.

”Kendra, apa-apaan sih?” tegur Shelomita sebal.

”Udah deh..bel udah bunyi, kalo gak cepet nanti gak bisa ikut ujian fisika yang kemaren loh!” sergah Kendra. Suara lift berbunyi. Keduanya naik ke atas. Ternyata liftnya sudah diperbaiki. Keduanya masuk dan turun ke bawah. Shelomita memberikan sapu tangannya pada Kendra.

”Makasih ya..” balasnya.

”Harusnya aku yang berterima kasih, kamu udah susah-susah dateng ke sini. Kamu kan gak perlu ngelakuin itu..” papar Shelomita masih kesal.

”Aku cuma khawatir sama kamu, kaki kamu kan belum sembuh...” jawab Kendra agak sebal juga dengan perkataan Shelomita. Keduanya diam.

”Oh, shit!” umpat Kendra saat mendapati kedua ban sepeda motornya kempes.
”Yah..kayaknya percuma, Ken..udah telat, kita gak bakal boleh masuk sama satpam!” keluh Shelomita. Sebuah mobil berhenti di depan mereka, kaca pengemudinya terbuka dan muncul Ariel dengan aviator hitam.

Shelomita mencegat taksi dan menarik Kendra msuk kedalam taksi.

”SMU Glory, Pak!”.

Kendra menarik tangan Shelomita berjalan ke samping sekolah.

”Kendra, mau kemana?gerbangnya di sana!” protes Shelomita.

”Kita gak bakal diizinin masuk sama Pak Giman!” sahut Kendra. Shelomita melepaskan genggaman Kendra.

”Kenapa kamu ngelakuin ini sama aku?Bukan karena festival itu kan?” tanya Shelomita. Kendra menatapnya.

”Ta..izinin aku untuk bantu kamu..Dan kamu jangan berfikir kalo aku ngelakuin ini karena festival musik..” terang Kendra. Shelomita menatap tanah. Kendra menarik tangannya lagi. Mereka tiba di samping gedung sekolah, tepatnya di lahan yang akan dibangun menjadi masjid oleh sekolah.

”Tuh anak mana sih?gak dateng-dateng!” gumam Tristan kesal sembali menoleh ke jendela.

”Aku sama Tristan pernah lewat sini waktu kita terlambat ke sekolah!” Ujar Kendra, kemudian memberi isyarat pada Shelomita untuk mengikutinya. Mereka sampai di samping kantin, Shelomita baru tahu tempat ini. Lorong kelasnya sudah terlihat.

”Tuh kan sampe..Tristan tadi sms, guru fisika kamu belum dateng, jadi kamu cepetan kelas gih!” ujar Kendra. Shelomita masih bingung.

”Sebelumnya saya minta kalian ikut saya ke kantor!” kata seseorang dari belakang mereka. Keduanya menoleh dan mendapati Bu Inggrid berdiri di belakang mereka.

”Satpam memberitahu bahwa kalian ada di depan gerbang dan pergi ke samping gedung sekolah, saya sudah duga kalian muncul di sini..” terang Bu Inggrid saat membawa kedua siswanya ke ruangannya. Shelomita yang duduk di samping Kendra menunduk.

”Maafin saya, Bu..Gara-gara saya Kendra jadi telat ke sekolah, saya mohon jangan marahin dia..” kata Shelomita. Kendra menatapnya tak percaya.

”Nggak Ma..”.

”Ibu, Kendra!” tegur Bu Inggrid, beliau memang membiasakan Kendra memanggilnya Ibu di sekolah karena ia adalah kepala sekolah.

”Ya..Ok..Tapi itu semua salah saya..saya yang ajak Mita lewat jalan sana untuk masuk ke sekolah..jadi biar saya aja yang dihukum soalnya dia mau..”.

”Kendra, kamu jangan begitu, kan ini semua gara-gara aku, biar aku aja yang..”.

”Stop!Kalian tahu kalau siswa datang terlambat maka tidak diizinkan masuk ke sekolah..Apapun alasan kalian, peraturan tetap peraturan..” terang Bu Inggrid bijak.

”Tapi, Bu..ini semua..”.

”Kendra, stop!Saya gak mau tahu. Sekarang kalian saya hukum, berdiri di depan tiang bendera dan hormat di sana sampai saya suruh berhenti. Cepat!” perintahnya.

Shelomita dan Kendra berdiri di depan tiang bendera sembari meletakkan telapak tangan mereka di pelipis kanan. Sudah setengah jam mereka berdiri di sana, matahari mulai terik, sesekali keduanya mengusap kening.

”Sumpah, dia benar-benar keterlaluan, kamu lihat kan gak ada satu pun bendera ada di sana!” protes Kendra. Shelomita mendengus sebal. Beberapa siswa di lantai 3 tertawa melihat mereka. Shelomita berusaha untuk tidak melihatnya.

”Kan udah aku bilang biar aku yang dihukum, kamu gak ngerti sih!” balas Shelomita. Kendra menurunkan tangannya dan menoleh pada Shelomita.

”Aku ngelakuin ini buat kamu, harusnya kamu terima kasih sama aku, bukan marahin aku!” sahut Kendra dan kembali pada posisi semula. Shelomita mengurut kakinya.

”Mau aku gendong?” tawar Kendra.

”Gak usah aku masih kuat kok!” tolak Shelomita pelan. Tiba-tiba Kendra menggendong Shelomita di punggung.

”Kendra apa-apaan sih?Turunin aku, sekarang!” teriak Shelomita.

”Eh..aku tahu kaki kamu masih sakit, jadi diem aja deh!” balas Kendra. Beberapa siswa yang melihat mereka cekikikan. Shelomita meronta-ronta.

”Kendra turunin aku sekarang, malu diliatin orang!” protes Shelomita.

”Ehm!”. Kendra menurunkan Shelomita saat Bu Inggrid berdiri di samping mereka.

”Ikut ke ruangan saya!” katanya, keduanya mengikuti dengan langkah lemas. Shelomita sudah menduganya kalau Oma-nya akan datang dan ia sudah duduk di sofa ruang kepsek.
”Keterlaluan kau!” omel Om-nya memukul Shelomita dengan tas tangannya, hal yang biasa ia lakukan saat Shelomita melakukan kesalahan.

”Aduh, Oma!Aku tahu aku salah tapi gak usah pake mukul dong!” balas Shelomita.

”Silakan duduk!” kata Bu Inggrid menetralkan suasana. Kendra menunduk takut kena omel Oma yang melihatnya dengan sinis.

”Saya minta maaf  karena Shelomita sudah melanggar peraturan..” kata Oma. Bu Inggrid tersenyum kecil.

”Saya yang seharusnya minta maaf pada Ibu, ulah Kendra saat ini memang keterlaluan, tadi Phoebe bilang ke saya kalau lift di apartemen Shelomita ada masalah, saya maklumi itu..Tapi yang tidak habis saya fikir kedua anak ini malah menerobos gedung sekolah lewat bangunan yang belum selesai di bangun..” papar Bu Inggrid.

”Ok..kalian saya izinkan masuk ke kelas dan saya tidak mau hal ini terulang lagi!” kata Bu Inggrid. Oma mengucapkan terima kasih dan pamit pulang. Sampai di luar ruangan Oma kembali memukul Shelomita dengan tasnya.

”Oma, saya aja yang dipukul jangan Shelomita!Kan saya yang salah!” sahut Kendra.

”Kau dan cucuku sama saja!Kalau saja aku tidak mengenal orangtuamu aku sudah hajar kau!” omel Oma. Shelomita mengusap lengannya.

”Kau ini membuatku tambah pusing!Oma tidak pernah mengajarimu untuk menerobos gedung sekolah, tapi kau dan bocah ini malah melanggarnya, keterlaluan!” omel Oma lagi.

”Iya-iya aku minta maaf!Udah ah!Aku mau masuk kelas dulu!” ujar Shelomita meninggalkan Oma. Kendra mengangguk pada Oma minta undur diri.

Shelomita keluar kelas setelah selesai mengerjakan ulangan fisika yang seharusnya ia kerjakan kemarin. Ia berjalan ke arah kantin.

”Ta!Gue denger lo sakit kemaren..Udah sehat sekarang?” tanya Arya tiba-tiba sembari merangkul pundak Shelomita.

”Udah baikan..tapi tolong tangan kamu..” ujar Shelomita cuek. Arya mengangkat tangannya. Elara yang muncul dari ruang laboratorium menghambur ke arah Arya.

”Arya!Kamu udah makan?” tanya genit seraya bergelayut di lengan Arya, tapi cowok itu malah melepaskan genggaman Elara perlahan. Elara yang aru menyadari adanya Shelomita di balik Arya, mendelik kesal.

”Heh!Ngapain ada di sini?Sana pergi!” hardik Elara.

”Suka-suka aku mau dimana..Aku pengen ngerasain ada dimana-mana kayak Nona Elara ini!” imbuh Shelomita seraya beranjak pergi. Arya cekikikan mendengarnya, tapi Elara tidak ambil pusing, tangannya kembali merangkul Arya. Shelomita menghampiri Phoebe di salah satu meja setelah ia memesan makanan, Phoebe terlihat tidak seperti biasanya.

”Ta..boleh tanya satu hal gak?” tanya Phoebe tiba-tiba. Shelomita berhenti mengaduk ice blendednya. Shelomita merasa pertanyaan ini akan menjadi pernyataan.

”Boleh..kenapa sih?” kata Shelomita.

”Kamu suka ya sama Kendra?” tanya Phoebe, Shelomita menatapnya terpaku. Kemudian ia tersenyum, Phoebe nampak khawatir.

”Dia Cuma temen, kebetulan kita sekolah di SMP dan SMU yang sama!” terang Shelomita, wajah Phoebe sumringah. Shelomita kembali mengaduk ice blendednya.

Shelomita berjalan keluar gedung sekolah, Phoebe sudah pulang duluan beberapa menit yang lalu. Shelomita melihat Pak Trisno, supir Oma-nya berdiri di dekat mading. Pak Trisno mengangguk saat Shelomita sudah di depannya.

”Saya diminta Ibu untuk mengantarkan Non ke dokter Susan.” kata Pak Trisno. Shelomita mendengus kesal.

”Nanti saya bisa ke sana sendiri, Pak!Lagian saya gak mau naik mobil!” bantah Shelomita. Pak Trisno tersenyum.

”Saya ke sini naik taksi, Non..” kata Pak Trisno seraya menunjuk sebuah taksi yang parkir di depan gerbang sekolah.

”SHELOMITA!” panggil Kendra seraya berlari menuju Shelomita. Shelomita tersenyum karena ia bisa menghindar dari ajakan Pak Trisno, tapi ia teringat pertanyaan Phoebe di kantin, ia pun berbalik dan segera berjalan cepat ke arah taksi, Pak Trisno mengikutinya cepat. Kendra heran melihat sikap Shelomita yang tiba-tiba pergi padahal Shelomita tahu ia memanggilnya. Taksi segera meninggalkan sekolah. Pak Trisno yang duduk di depan, menoleh.

”Mas Kendra tadi manggil kok gak ditunggu, Non?” tanyanya sopan. Shelomita tidak menjawab, ia hanya menggeleng ragu. Pak Trisno tersenyum kemudian kembali menghadap jalan.
¯¯¯


”Pokoknya aku gak mau, Oma!Oma pergi aja sama Inez, dia kan udah balik dari Surabaya!” bantah Shelomita lewat telepon, tangan kirinya sibuk melepas tali sepatu ketsnya.

”Oma gak mau tahu, nanti jam tujuh Oma jemput!” perintah Oma kemudian telepon terputus.

Shelomita menatap jam dinding, sudah pukul lima sore. Shelomita beranjak ke kamar. Setelah menghabiskan spageti yang dibelinya di restoran depan apartemen. Shelomita membuka lemari bajunya. Dia memang jarang membali baju, tapi Inez sering membawakannya baju yang dibeli Oma untuknya sehingga isi lemarinya tetap penuh. Shelomita menarik hanger yang didesain bisa dinaik-turunkan. Sebenarnya ia tidak mau datang ke acara itu, sudah hampir tiga tahun ia hidup seperti petapa, tapi Oma-nya memaksa, ia tidak mau Oma menyeret dirinya pulang ke rumah, jadi ikuti saja permainannya. Shelomita mengeluarkan sebuah LBD dengan aksen lipit buatan tangan di bahu dan dada, Sewaktu membawakan baju ini Inez bilang kalau ini produk baru. Shelomita membuka bilik sebelah, ya Tuhan, ia sungguh jarang ke mall tapi ia punya banyak baju, tas, sepatu dan aksesorisnya, Oma selalu berusaha mengingatkan pada Shelomita tentang kehidupannya yang dulu. Shelomita meraih tas tangan kecil dengan hiasan bintang sebagai kancingnya, ia pun membuka plastik pembungkusnya dan melemparkan ke tempat tidur. Sekarang ia berjongkok dan membuka bilik yang membujur selebar lemari, ia mulai memilih sepatu yang berjejer rapi, ia mengambil sepasang high heels hitam dengan bintang kecil di punggung kakinya, serasi dengan tasnya. Shelomita memang harus mengakui kalau selera fashion Inez sangat bagus.

Jam meja di samping ranjang menunjukkan pukul setengah tujuh, Shelomita menjepit poninya dengan hairpin perak dengan bintang kecil berkilau membiarkan rambut semi keriting hitam sebahunya tergerai, sepertinya Inez memilih tema yang sama sewaktu memilih baju ini.

Kendra menuruni tangga dengan malas sambil menyampirkan jas hitamnya di bahu, pakaiannya tidak formal, kemeja putih dipadu jeans.

”Pa..apa aku harus ikut?” tanyanya pada Ayahnya yang sedang mengetik sesuatu.

”Harus dong..ini acara sosial, Ken..kamu udah besar harus belajar bersosialisasi.. Lagian Tristan juga pasti ikut, Ibunya di undang juga kok, Mama kamu yang bilang..” terang Ayahnya yang masih terus mengetik. Kendra mendengus sebal.

”Dia sih, gak usah pake spekulasi juga pasti dateng dia kan suka makan!” umpat Kendra sembari melirik layar ponsel Ayahnya, jari Ayahnya masih bergerak di atas keypad ponsel.

”Pasti lagi Online deh!” pikir Kendra seraya berjalan keluar.

”Ken..tag foto itu gimana sih?Temen Papa ngirimin foto waktu piknik kantor bulan kemarin, kata dia itu namanya tag..” ujar Ayahnya.

”Tinggal pilih foto yang mau ditag, terus pilih nama yang mau ditag-in..” jawab Kendra ketus. Ayahnya mangggut-manggut entah mengerti atau tidak.

”Apa kan gue bilang?!” gumam Kendra sembari membuka pintu mobil dan masuk ke dalam. Dua bulan lalu, Ayahnya memintanya untuk membuka akun di facebook, sekarang Ayahnya keranjingan situs itu sampai menganti ponsel yang menyediakan fitur facebook lebih lengkap.

Oma dan Inez datang tepat pukul tujuh, Oma tampil dengan setelan blazer modern hitam putih modis, Oma-nya memang tidak ingin terlihat tua. Inez yang selalu mengekor Oma tampil simpel dengan setelan blazer biru tua.

”Bagaimana pilihanku?Bagus kan?” tanya Inez pada Shelomita yang duduk di bangku belakang.

”Ya..thanks before..Lagian ukurannya juga pas..” kata Shelomita.

“Bicara apa kau..Kau lupa kalau aku pernah meminta Inez mengukur tubuhmu?” sambar Oma. Shelomita mengangguk malas. Tentu saja, pantas Inez tahu ukuran bajunya.

“Tapi yang jadi masalah adalah aku dipaksa datang ke acara yang bikin pegal oleh seseorang..” gumam Shelomita. Oma mendelik.

“Sudah 3 tahun ini kau hidup seperti petapa, jadi seharusnya kau menurut padaku atau ku seret kau pulang!” ancam Oma. Inez dan Pak Trisno tersenyum kecil mendengar pertengkaran kecil yang selalu terjadi itu.

Kendra menekan klakson mobil beberapa kali, memanggil orang tuanya yang tak kunjung keluar. Mama dan Papanya keluar cepat-cepat sebelum Kendra memutuskan untuk batal ikut.

Shelomita berjalan malas-malasan di belakang Oma, Inez yang selalu membawa agenda di tangannya berjalan di kanan Shelomita. Oma menemui beberapa orang yang masih diingat Shelomita sebagai teman Oma. Beberapa orang menatap Shelomita agak terkejut, jelas semenjak kematian orangtuanya Shelomita agak menutup diri dari pergaulan, jadi wajar saja mereka melihatnya seperti itu. Sekarang Oma menemui Om dan Tante Wisnu yang merayakan ulang tahun perkawinan mereka. Oma memberi ucapan selamat. Tante Wisnu melirik Shelomita sesaat.

”Shelomita!Pa kabar sayang?” tanyanya menghambur ke arah Shelomita, memeluknya dan mencium kedua pipinya. Yang Shelomita ingat Tante yang satu ini terlalu berlebihan.

”Ehm..Baik Tante!” jawab Shelomita singkat.

”Tante seneng kamu mau dateng ke sini, Kita udah lama gak ketemu..Kamu udah besar ya..dulu kamu sekecil ini..bla,bla,bla,blabla....” cerocos Tante Wisnu. Shelomita menggumam ’iya’ di sela-sela kalimat panjang Tante Wisnu.

Shelomita berkeliling di ruangan yang besar itu, meninggalkan Oma yang asyik mengobrol dengan para tamu. Shelomita tertarik dengan patung angsa yang dibuat dari es di tengah ruangan.

”Loh, Shelomita!” sapa seseorang. Shelomita menoleh dan Kendra sudah tersenyum lebar di belakangnya.

”Tumben dateng?” tanya Kendra heran. Shelomita tersenyum.

”Biasa..dipaksa!” ujar Shelomita.

”Udah makan?” tanya Kendra.

”Makanannya gak ada yang aku suka!” jawab Shelomita.

”Hmm..mungkin kalau Sup jamur makaroni kamu suka, ayo!Aku tunjukin deh!” ajak Kendra sembari menarik tangan Shelomita. Kendra menyendokkan semangkuk kecil sup, lalu memberikannya pada Shelomita. Setelah mencicipi satu sendok, Shelomita mengangguk setuju atas pernyataan Kendra barusan.

”Tuh, kan..Kamu suka..” kata Kendra.

”Kok gak sama Tristan?” tanya Shelomita.

”Dia mah lagi berburu makanan di pojok sana!Tuh!” kelakar Kendra seraya menunjuk seseorang di sudut dengan dagunya.

”Aku mau keluar dulu ya!Aku gak terlalu suka di sini..” pamit Shelomita.

”Aku temenin ya?”tawar Kendra. Shelomita nampak berfikir kemudian mengangguk.

”Kemana anak itu?” tanya Oma pada Inez saat menyadari Shelomita sudah tidak ada di sampingnya lagi.

”Tadi saya lihat sama Kendra!” jawab Inez santai. Oma terkejut.

”Aku tidak ingat bocah itu di sini, padahal aku tadi bertemu Darma dan Inggrid..” gumam Oma.

”Kalau Anda tidak suka dengan Kendra, kenapa tidak mengenalkan Shelomita dengan anak teman Anda?Padahal saya yakin banyak teman Anda yang ingin anaknya kenal dengan Shelomita..” papar Inez seraya mencicipi tiramisu.

”Bukan aku tidak suka tapi ..Shelomita tumbuh terlalu cepat, sebentar lagi dia akan kuliah, lalu bekerja lalu seseorang akan datang untuk menjadikannya istri dan aku ditinggalkan..” erang Oma dengan nada sedih. Inez memandangnya lekat, di tengah kerumunan tamu, baru kali ini ia melihat Bos-nya berkata lirih seperti itu. Ia bisa mengerti itu, Shelomita cucu perempuan satu-satunya, mungkin Oma terlihat tidak suka pada Kendra karena ia tahu kalau Kendra bukan hanya ingin jadi teman Shelomita. Inez menggenggam tangan Oma, memberikannya dukungan.

”Apapun yang Anda lakukan cepat atau lambat hal itu akan terjadi..Hanya saja itu butuh proses..Saya yakin Shelomita tidak akan meninggalkan Anda..Dia hanya butuh waktu untuk merelakan yang telah pergi..” terang Inez, Oma tersenyum, lega telah mengeluarkan sedikit pikiran yang mengganggunya.

Shelomita berdiri di pinggir taman, angin malam meniupkan rambut sebahunya. Seorang cowok terlihat bingung di belakang mereka. Lalu memutuskan untuk berjalan menuju keduanya.

”Kok waktu aku panggil sepulang seklah kamu langsung pergi?” tanya Kendra. Shelomita bersikap tenang sambil memikirkan jawaban.

”Oma sudah menunggu aku di apartemen, jadi ya aku buru-buru pulang sebelum terkena pukulan tasnya.” Kendra tersenyum karena Shelomita kadang punya selera humor.

”Maaf, toiletnya dimana ya?” tanyanya. Mungkin dia seumuran dengan Kendra, ia memakai kemeja putih dan jas hitam, kacamata minus yang agak tebal bertengger di wajahnya, rambutnya rapi, orang ini terkesan jadul ditambah sikap gugupnya.

”Di sebelah sana, jalan terus sampe sudut ruangan terus belok kiri!” kata Kendra. Cowok itu membetulkan letak kacamatanya.

” Oh, makasih ya!” balasnya gugup mungkin gagap. Keduanya masih memperhatikan cowok itu sampai hilang dari pandangan.

”Aneh!” jawab keduanya bersamaan. Shelomita tersenyum, Kendra tertawa agak keras.

”Besok Glory tanding..Nonton ya..”ujar Kendra. Tangannya mencari sesuatu di saku jasnya. Sebuah tiket terulur di tangannya. Shelomita mengambilnya.

”Buat aku?” tanyanya, memandang lekattiket di tangannya.

”Bukan!Buat mbak-mbak pelayan yang ada di sana..” canda Kendra seraya mengarahkan ibu jari ke belakang. Shelomita tersenyum.

¯¯¯

Kendra mengikat tali sepatunya di bangku pinggir lapangan. Hari ini SMU Glory bertanding melawan kesebelasan SMU Jaya. Kendra meruapakan pemain sayap kanan Glory, semenjak SD ia menyukai sepak bola dan ia menekuninya mulai SMP dan kebetulan Glory mempunyai ekskul Sepak Bola, Kendra masuk ekskul itu. Tristan sibuk membagi-bagikan bendera dengan lambang trofi yang merupakan lambang SMU Glory pada siswa-siswi Glory yang sudah memenuhi stadion mini itu.

Inez menyeruput teh yang dibuatkan Shelomita, Shelomita bersandar di pantry dapur. Inez duduk di salah satu kursi meja makan.

”Kenapa kamu gak menyerah aja dan pulang ke rumah..” ujar Inez membuka obrolan.

”Oma gak bisa ngerti aku, Nez!Oma gak ngerasin apa yang aku alamin..” jawab Shelomita.

”Ok..kita udah ngebahas ini berkali-kali dan aku gak berniat ikut campur urusan kalian, tapi..Kamu salah kalo kamu menganggap beliau tidak mengerti..Bahkan dia jauh lebih mengerti dibanding kamu..” Papar Inez. Shelomita bergerak dan meletakkan cangkir di meja.

”Kalo dia mengerti kenapa dia selalu maksa aku pulang ke rumah?Kalaupun aku pulang, aku juga bakal kesepian di sana..Oma lebih sibuk semenjak orangtuaku meninggal..” bela Shelomita.

”Itulah tujuannya, Ta!Oma ingin kamu mengerti kesibukannya dan berharap kamu bisa belajar untuk membantunya nanti..Kamu tahu yang beliau urus bukan Cuma satu atau dua usaha tapi banyak..Ayahmu meninggalkan semua itu bukan untuk disia-siakan tapi untuk dilanjutkan sama kamu..”terang Inez. Shelomita bungkam. Inez bangkit dan meraih tasnya di sofa ruang tamu, sekilas ia melihat sebuah tiket di meja telpon.

”Mau aku panggilkan taksi?Sepertinya ada yang menunggu kehadiranmu sekarang..” canda Inez. Shelomita melirik jam dinding, sudah pukul dua lewat.

”Besok Glory tanding..Nonton ya..”. Shelomita mengambil postmanbag-nya dan bergegas pergi. Sebuah taksi menunggu di depan apartemen, sepertinya Inez tidak bercanda.

Di ruang kerjanya Oma Eliza sibuk menelepon seseorang namum sepertinya tidak diangkat dan itu membuatnya kesal. Inez membuka pintu sembari membawa beberapa map.

”Kalau Anda menelepon apartemen Shelomita, ia tidak ada di sana!” kata Ine sembari berdiri di belakang Oma Eliza. Dahi Oma berkerut bingung.

”Jadi kemana anak itu?Ini hari sabtu, sekolah libur” tanya Oma kesal.

”Mungkin dia pergi dengan seseorang!” kata Inez mengedipkan sebelah matanya sembari meletakkan map yang ia pegang di atas meja, kemudian keluar.

”Pasti bocah itu lagi!Berani-beraninya dia!” omel Oma.

Pluit tanda dimulainya pertandingan berbunyi. Kendra mengedarkan pandangannya ke bangku penonton.

”Kendra!” seorang cewek memanggilnya dan Kendra menoleh senang, namun itu semua hilang karena yang muncul Phoebe.

”Shelomita mana?” tanya Kendra membuat Phoebe melongo tak percaya kenapa justru kalimat itu yang keluar dari mulutnya.

”Kendra!Cepetan!” tegur Tristan sembari mendorong Kendra ke lapangan.

Kendra dan yang lain menyalami tim SMU Jaya. Dua tahun lalu Kendra pernah bermain dengan SMU Jaya, jadi ia cukup mengenal para pemainnya. Para pemain bersiap di posisi masing-masing. Kapten Glory, Seno berhadapan dengan Richard, kapten Jaya di tengah lapangan untuk mengundi bola. Wasit memutuskan Glory mengoper bola lebih dulu.

Shelomita merenung di dalam taksi yang sedang melaju menuju stadion tak jauh dari SMU Glory. Ia memikirkan Phoebe. Apa boleh ia datang menonton pertandingan itu?

Penonton bersorak sorai dari bangkunya meneriakkan tim yang mereka jagokan dan tak jarang ada yang meneriakkan nam pemainnya. Raka mengoper bola ke Kendra setelah merebutnya dari Alvian, pemain depan Jaya. Kendra membawa bola ke arah gawang dan bersiap melesakkan bola ke gawang yang tidak dijaga, namun Richard menjegalnya dari samping, keduanya bersisian merebut bola dan Richard berhasil merebut bola dari Kendra. Pak Herman selaku pelatih Glory berteriak dari pinggir lapangan mengingatkan Kendra untuk berkonsentrasi. Richard membawa bola itu dan mengopernya ke Indra, pemain sayap kiri Jaya. Sekarang bola berada di ujung sepatu Chiko, gawang Glory tidak dihalangi, Kendra berlari secepat mungkin dan merebut bola sebelum mencapai kotak penalti.

Tristan bernafas lega setidaknya Kendra menahan serangan pemain SMU Jaya. Ia mengeluarkan ponselnya dan mencoba menghubungi Shelomita, ia tahu Kendra menunggunya. Phoebe berpangku tangan duduk di bangkunya. Ia sudah susah payah datang ke sini, tapi Kendra tidak memperdulikannya, malah menanyakan Shelomita. Sesekali ia meninggikan kepalanya, bangku yang ia tempati cukup jauh dari pinggir lapangan, betul-betul tempat yang tak strategis. Shelomita berjalan mencari tempat kosong, pemeriksa tiket memberitahunya kalau tempat duduknya di tribun utama di bagian depan. Ia melihat ada bangku kosong di depan sana, ternyata benar di depan. Phoebe mengedarkan pandangannya dan tak sengaja menangkap sosok Shelomita yang baru akan duduk di bangku depan.

”Dia punya tiket masuk sini?” pikir Phoebe. Phoebe memperjelas penglihatannya, tidak salah, gadis yang mengenakan mini skirt, tees dibalut blazer coklat itu adalah Shelomita bahkan ia bisa melihat jelas rambut khas Shelomita yang di kuncir dan diberi bando berpita kecil.

Wasit meniupkan peluit, Raka mendapatkan kartu kuning karena melakukan pelanggaran menjegal Chiko. Pendukung SMU Glory berteriak protes. Pak Herman kembali memperingatkan dari pinggir lapangan terutama pada Kendra. Kendra memegang lututnya dan melihat Pak Herman yang dari tadi mengomel padanya, tak sengaja matanya melihat Shelomita sudah duduk di antara penonton di angku depan. Kendra melambaikan tangan. Shelomita menoleh kanan kiri melihat orang yang dilambaikan Kendra. Tristan mengikuti pandangan Kendra. Phoebe melihat itu dan kemudian beranjak pergi.

”Nah..udah dapet obat semangat kan lo..Sekarang obrak-abrik pertahanan lawan!” teriak Tristan pada Kendra, Pak Herman melihatnya dengan tatapan aneh. Teriakan siswa-siswi SMU Jaya menggema menambah riuh suasana di stadion

Raka kembali merebut bola dari Odi dan mengopernya ke Ray, Ray menerobos penjagaan duo Chiko dan Indra mengoper ke arah Seno, meski mendekati kotak penalti, Seno menggiringnya ke Kendra, Kendra melesakkan bola ke gawang SMU Jaya yang dijaga Andre. Wasit meniupkan pluit. Satu angka untuk SMU Glory, pendukung Glory berteriak riuh memekakkan telinga. Shelomita bertepuk tangan diantara kegembiraan penonton. Sudah lama ia tidak berada di situasi seperti ini.

Pertandingan berjalan alot, skor masih 1-0 atas SMU Jaya. Beberapa kali gawang SMU Glory yang dijaga Adi berusaha dijebol Alvian namun gagal. Tristan sudah banyak menghabiskan makanan kecil di pinggir lapangan, sesekali berteriak memberi semangat pada Kendra dan yang lain.

Seseorang yang memakai pets hitam duduk di antara pendukung SMU Glory di tribun atas. Duduk tenang di antara keriuhan suara penonton.

”Ya..ya..ya..lo masih tangguh kayak dulu..dulu sewaktu gw kehilangan seseorang..” ucapnya dalam hati.

Pertandingan sudah berlangsung 45 menit, wasit meniup peluit memberi waktu untuk istirahat. Para pemain berlarian ke pinggir lapangan. Tristan melemparkan botol air mineral ke arah Kendra. Kendra menegukknya cepat.

”Ray..main yang bener!Jaga Alvian sama Chiko!” kata Pak Herman.

”Pertahanin gawang, Di!Kita udah latihan untuk semua ini!” kata Pak Herman lagi pada Adi yang sedang melemparkan botol air mineral ke tasnya.
”Ada kesempatan jangan ragu buat ngoper bola ke teman, kerjasama yang baik, ok?”ujar Pak Herman pada semua pemain dan berkumpul membentuk lingkaran kecil sembari menjulurkan tangan kanan untuk melakukan tos.

”GIVE A GLORY FOR GLORY!!” Teriak mereka bersamaan. Pluit kembali terdengar babak kedua akan dimulai.

”Pergi kemana anak itu?” omel Oma Eliza setelah mencoba menghubungi ponsel Shelomita yang tak kunjung diangkat. Inez yang sibuk mengetik di laptop tersenyum, jelas tidak diangkat, Shelomita ada di tengah keriuhan penonton.

”Kau tahu pergi kemana mereka?” tanya Oma. Inez menggeleng.

”Jakarta memiliki banyak mall jadi mereka bisa dimana saja!” ujarnya. Oma meneguk pocarinya sampai habis dan melempar kalengnya ke tempat sampah di kaki meja.

20 menit lagi babak kedua akan berakhir, skor masih 1-0 untuk SMU Glory. Kendra membawa bola melewati Odi, Alvian mengejarnya dari samping kiri merebut bola dari Kendra namun Kendra terdorong dan tersungkur di rumput hijau. Pendukung SMU Glory protes namun wasit memutuskan itu bukan pelanggaran. Shelomita sontak berdiri. Ray membantu Kendra berdiri. Kedua tim sama-sama mendominasi pertandingan. Raka yang membawa bola diapit Alvian dan Chiko, Seno muncul di kiri Raka dan menerima operan Raka. Mendekati kotak penalti Richard menghadang Seno, Seno langsung mengumpan bola ke Kendra, tanpa pikir panjang Kendra menendang bola ke arah gawang dan bola lolos untuk kedua kalinya dari jangkauan tangan Andre. Kendra diserbu kawan-kawan. Pendukung Glory semakin riuh sambil berteriak jargon Glory, ’give a glory for Glory’. Wasit meniup pluit skor 2-0 atas SMU Jaya. Pertandingan selesai, Tristan menyerbu Kendra dan memeluknya. Richard dkk, memberikan selamat pada Seno cs. Kendra mencari Shelomita di tengah kerumunan penonton.

”Lawan yang tangguh, Bro!” puji Richard.

Shelomita bertepuk tangan senang. Ia bangkit dari tempat duduknya. Ponsel Kendra berbunyi, privat number, Kendra menjawabnya.

”Pa kabar, Ken?” tanya penelepon.

”Ini siapa?” tanya Kendra. Orang itu tertawa pelan. Kendra bisa mendengarnya meski sekelilingnya agak ramai, Kendra agak menjauh dari teman-temannya.

”Udah gue duga lo gak inget gue, atau lo gak tahu gue, Ken?” tanya orang itu balik.

”Siapa sih nih?” omel Kendra kesal.

”Kayaknya lo tadi nyari Shelomita ya?” tanya orang itu. Kendra langsung mengedarkan pandangannya, yang meneleponnya ada di sini. Dan dia tidak menemukan Shelomita.
”Percuma orang yang lo cari udah gak ada!” ucap orang itu lagi. Kendra menutup telepon, meraih tasnya tanpa pamit dan berlari keluar stadion. Teman-temannya memandangnya heran dan Tristan langsung menetralisir suasana.

”Tenang aja, Bro!Dia ada urusan yang gak bisa ditinggalin!” katanya seraya merangkul Seno dan Adi.

Masih dengan seragam dan peluh, Kendra berlari keluar stadion, orang itu tahu ia mencari Shelomita, Shelomita tidak ada di bangkunya. Pikiran Kendra sudah negatif.

”Kendra!” sapa seseorang, Kendra berbalik. Shelomita menatapnya heran di tengah kerumunan orang di luar stadion.

”Selamat ya!” ujar Shelomita seraya mengulurkan tangan pada Kendra. Kendra masih terpaku di tempatnya. Shelomita mengibaskan jari-jari tangannya di depan wajah Kendra.

”Oh..eh..iya..makasih!” jawabnya terbata-bata. Shelomita tersenyum melihat tampang Kendra.

”Oya..aku sama yang lain mau makan-makan, kamu ikut ya?” ajak Kendra.

”Gak usah aku ada urusan lain..ok..aku pulang duluan ya!” jawab Shelomita sembari melangkah.

”Aku anterin boleh?” tawar Kendra, Shelomita berbalik.

”Maksudnya..biar aman gitu..lagian kamu pake rok pendek gitu..” gurau Kendra. Shelomita menatap roknya, memang pendek.

”Thank’s..tapi taksi aku uidah nunggu di depan!” tolak Shelomita.

”Kenapa harus pake taksi?” tanya Kendra. Shelomita diam.

”Karena aku gampang capek!” jawabnya.

Kendra membuka pintu ruang ganti, teman-temannya masih di sana, dan ribut mau makan dimana. Tristan sibuk membuka kaleng coke di salah satu bangku.

”Lo pedekate sama Shelomita, Ken?” tanya Raka ketika Kendra membuka resleting ranselnya. Teman-teman yang lain sekarang sibuk meledeknya.

”Shelomita, cewek yang pulang balik ke sekolah naik taksi itu?Yang pendiem itu?” reka Seno. Kendra menatap tajam ke arah Tristan seolah berkata ’Lo kan yang bilang ke mereka?’. Tristan mengangkat kedua tangannya.

”Gak papa kan?Emang salah satu dari kalian ada yang mau ngegebet dia juga?” tanya Kendra.

”Emang sih dia gak secantik Lovina, gak secerdas Phoebe, gak seagresif dan seheboh Elara, atau gak bawel kayak cewek gue..tapi kalo bersaing sama lo..gue mundur deh!” terang Adi. Sepertinya topik pembicaraan di ruang ganti sudah berubah. Kendra mengenakan kaosnya dan meraih botol air mineral, tanpa mengomentari pendapat temannya.

”Tapi kalo gue masih jomblo sih, gue juga bakal deketin dia, Bro!Manis juga anaknya!” ujar Ray yang segera mendapat lemparan handuk dari Adi.

”Jangankan elo..Arya anak basket kayaknya mulai suka sama Shelomita, beberapa hari yang lalu gue liat dia lagi deketin Shelomita, tapi usahanya gagal berhubung Nona Elara keburu dateng, udah bisa ketebak!” timpal Seno yang mencopot sepatunya dan menggantinya dengan sneaker yang dibalas tawa oleh yang lainnya. Elara memang terkenal centilnya, hebohnya.

”Punya saingan lo, Bro!” canda Tristan yang menepuk pundak Kendra. Kendra tidak membalas omongan temannya, ia masih bertanya-tanya siapa yang tadi meneleponnya.

”Tapi kita-kita lebih rela kalo Shelomita sama lo daripada sama si brengsek Arya!” gurau Seno, dia memang terlihat dewasa dibanding yang lain, oleh karena itu dipercaya menjadi kapten kesebelasan Glory.

”Iya, Ken!Gue rela deh ngelepas dia buat lo!” kelakar Ray yang kembali mendapat serangan  tapi kali ini dari Tristan yang melempar kulit pisang ke muka Ray.

”Gue serius!Shelomita tuh beda!” bela Ray pada teman-temannya.

”Udah deh udah..jadi gak nih makan-makannya?” lerai Kendra yang segera disambut koor yang lainnya.

Shelomita menapaki tanah perkuburan dengan nisan-nisan yang berbaris rapi. Langit mulai kemerahan karena senja.

”Pa, Ma...Apa aku salah kalo selalu menganggap Oma gak peduli sama aku?” kata Shelomita.

Kendra memandangi gelas jus jeruknya, sekarang dia bergabung bersama yang lain merayakan kemenangan mereka di salah satu restoran. Tristan tahu Kendra sedang memikirkan sesuatu, Tristan berganti tempat duduk dengan Ray.

”Lo ada masalah, Ken?” tanya Tristan pelan.

”Tadi ada yang nelpon gue, Tan!” kata Kendra. Tristan bingung, ada yang menelepon itu kan hal wajar.

”Tadi pas pertandingan selesai, lo tahu kan gue lagi nyari Shelomita?Orang itu tahu gue lagi nyari dia, dan dia bilang Shelomita udah gak ada..Gue pikir dia..” gantung Kendra.

”Dia gak bilang dia siapa?” tanya Tristan. Kendra menggeleng.
”Lo kenal sama suaranya gak?” tanya Tristan lagi.

”Gak pernah denger..Tapi yang gue heran dia tahu Shelomita..makanya tadi gue lari keluar stadion, perasaan gue gak enak tadi!” papar Kendra. Tristan sibuk berfikir.

”Lo itu gak punya musuh..terus siapa orang itu ya?” pikir Tristan.

”Tadi gue mikir apa anak Jaya ya?Tapi lo tahu kita akrab juga ma mereka..”tambah Kendra.

”Lo mikir ini serius gak?” tanya Tristan. Kendra tahu maksud Tristan.

”Masalahnya dia tahu Shelomita dan kemungkinan dia ada di bangku penonton tadi siang..” imbuh Kendra. Keduanya mulai kembali sibuk berfikir ditengah riuh teman-teman yang lain.

¯¯¯

Shelomita membuka pintu apartemennya dan melemparkan tasnya ke sofa. Kemudian menuju ke pantry dan menegak segelas air. Telepon berbunyi, dengan malas ia menjawabnya.

”Ya!” jawabnya.

”Heh!Dari mana saja?Aku meneleponmu dari tadi siang!” omel Oma. Segera Shelomita tahu kalau Inez tidak memberi tahu Oma soal kepergiannya siang tadi, tapi justru kalau dia bilang, Oma bisa sudah menunggu di apartemennya.

”Gak usah marah begitu!Aku kan udah pulang!” jawab Shelomita. Kadang sifat Oma yang overprotective membuatnya kesal.

“Pergi kemana kau dengan bocah itu?” tanya Oma. Shelomita mendengus.

”Namanya Kendra, Oma!” sela Shelomita.

”Bahkan kau sudah mengakuinya kalau kau pergi dengan bocah itu!” omel Oma lagi.

”Oma..kalau Oma mau ngomongin itu aku gak sempet!Aku mau tidur!” kata Shelomita seraya menutup telepon.

Shelomita masuk ke kamar yang dindingnya dilapisi walpaper bertema autumn. Shelomita suka dengan warna daun saat musim gugur, beberapa barangnya bahkan bermotif daun kering. Tak sengaja matanya menatap meja belajar, ia mendekat ke meja. Mengamati sebentar dan berjalan menuju pintu kamar kemudian memeriksa lubang kunci.
¯¯¯
Shelomita masuk ke kelas dan duduk di samping Phoebe yang sudah tiba lebih dulu. Tidak seperti biasa, Phoebe tidak menyapanya.

”Phoebe!Udah ngerjain peer Fisika?” tanya Shelomita. Phoebe tidak menjawab, ia sibuk membaca buku biologi.

“Kamu marah?” tanya Shelomita pelan setelah ia duduk di kursinya.

”Tuh kamu tahu!” jawab Phoebe ketus.

”Marah kenapa?” tanya Shelomita lagi.

”Kamu bilang Cuma temenan sama Kendra, tapi kemarin kamu dateng ke pertandingan yang gak pernah kamu datengin sebelumnya..” papar Phoebe. Shelomita sudah bisa menebaknya.

”Loh, aku kan Cuma dateng emang gak boleh?” sela Shelomita. Phoebe menatapnya.

”Sekarang aku tanya..Kamu dapet tiket dari siapa?” tanya Phoebe.

”Tentu aja dari eskul sepak bola dong!” jawab Shelomita. Phoebe tertawa sinis.

”Ta, tiket itu bisa didapet dari Renata, humas osis dan eskul sepak bola gak mengurus itu!” kata Phoebe kemudian berdiri karena ia tahu Shelomita berbohong. Shelomita menatap meja, merasa bersalah.

”Bi, aku minta maaf aku gak maksud untuk..”.

”Udah deh, Ta..Aku tahu kamu dapet tiket itu dari Kendra!” kata Phoebe terus berjalan tanpa berhenti atau menatap Shelomita.

”Tapi aku gak pernah..”.

”Aku tahu kamu gak pernah berniat nyakitin aku atau melakukan sesuatu yang bikin aku jealous atau apa..Tapi..” Phoebe berhenti, Shelomita hampir menabrak punggungnya.

”Meskipun aku mohon sama kamu supaya jangan deketin Kendra..tapi Kendra Cuma suka sama kamu..” terang Phoebe menatap tajam Shelomita. Phoebe meninggalkannya, Shelomita tidak mengejar.

”Ta, nanti aku tanding basket, nonton ya!” pinta Arya yang sudah muncul di depan Shelomita. Shelomita melewatinya tanpa menoleh sedikitpun. Arya melongo heran. Beberapa siswa yang ada di sekitarnya tersenyum geli.

”Emang enak dicuekin, suruh Elara nonton aja buat gantiin!” ledek Ray yang sedang berdiri di salah satu pilar koridor tertawa senang. Arya memandangnya tak suka.
”Apa?Kayaknya tadi ada yang nyebut nama gue!” sambar Elara yang tiba-tiba muncul. Ray tambah senang melihat wajah Arya yang sudah seperti marmut sambil berucap ’Mampus, Lo!’.

”Arya mau minta lo nonton dia tanding basket, Ra!” celetuk Ray. Elara menatap Arya terharu tapi dalam versi konyol. Arya yang udah kepalang tanggung berdiri dengan gaya cool tapi dipaksakan. Ray bahkan sudah berguling-guling di lantai.

”Pasti aku dateng  ngasih dukungan yang yang besar!Tenang aja..bla..bla...bla..bla..”.

Kelas hening saat pelajaran biologi berlangsung bersama Bu Rachel. Materi yang sedang disampaikan adalah darah. Bu Racher menuliskan poin-poin penting di whiteboard. Para siswa mulai sibuk mencatat.

”Ok..kita sudah membahas macam-macam golongan darah minggu lalu..Ada golongan A, B, AB dan O..Ok..Ada yang bisa jelaskan fakta menarik tentang golongan darah diluar Biologi?” papar Bu Ravhel memberikan kesempatan muridnya untuk menjawab. Belum ada yang mengacungkan tangan.

”Phoebe?” tanyanya, Phoebe menggeleng lemah, Shelomita yang duduk di sampingnya merasa bersalah.

”Shelomita?”.

”Melalui golongan darah kita bisa tahu karakter seseorang bahkan makanan yang tepat untuk tubuh, hal ini ditemukan tahun 1933 oleh seorang ilmuwan Jepang bernama Furukawa Takeji yang mengatakan ada hubungan anatar golongan darah dengan kepribadian seseorang.” terang Shelomita. Bu Rachel mengangguk puas dengan pernyataan Shelomita yang biasanya bisa dijawab dengan mudah oleh Phoebe.

”Ok..sekarang kita akan membahas satu persatu kepribadian seseorang menurut golongan darahnya!”. kata Bu Rachel yang sering menggunakan kata ’ok’ dalam setiap pembicaraannya.

¯¯¯

Malam itu Kendra dan orangtuanya berkumpul di ruang keluarga, Ibunya menonton acara talkshow di televisi dan Ayahnya sedang online. Kendra memainkan keyboard di sudut ruangan, tetapi lagu yang ia mainkan justru terdengar sumbang. Sesekali Kendra mendengus sebal.

”STOP KENDRA!” Teriak orangtuanya bersamaan. Kendra menggaruk kepalanya dengan tampang meminta maaf.

”Kenapa kamu gak belajar aja sana, berisik!” omel Ayahnya tetap menatap layar ponselnya.
”Kalo mau nanti Mama les-in deh!” tambah Mamanya.

” Lagian tumben amat, tuh keyboard kamu mainin..biasanya juga nggak.. ” gumam Ayahnya. Sesaat kemudian orangtuanya saling pandang kemudian menatap Kendra berbarengan.

”Kamu nggak lagi..” ujar Mamanya terputus. Kendra bangkit sebelum dua orang itu bertanya lebih jauh dan berlari menaiki tangga.

”Kendra udah punya pacar belom sih?” tanya Ayahnya.

”Belum..Dia itu gak kayak Papa-nya yang udah punya pacar di bangku SMP..” ujar Ibunya.

”Tapi dia pasti lagi suka sama seseorang, Ma!” tebak Ayahnya.

”Mungkin..tapi setahu Mama, Kendra lagi deket sama Shelomita!” ujar Mamanya. Ayah Kendra meletakkan ponselnya di meja dan berusaha serius mendengar perkataan selanjutnya.

”Cucunya Bu Eliza?” tanya Ayahnya penasaran. Mamanya mengangguk.

”Gimana kalo kita jodohin aja, Ma?” ajak Ayahnya.

”Udah deh, Pa..ini urusan anak muda, biarin aja..kayak gak pernah muda aja..” bantah Mamanya. Ayahnya Kendra sekarang menyesal sudah memberikan perhatian dan ia kembali online.

¯¯¯

Malam minggu ini Inez menginap di apartemen Shelomita. Meskipun usia mereka terpaut 10 tahun, tapi keduanya bisa dibilang dekat. Shelomita menceritakan masalahnya pada Inez yang asyik memakai masker wajah, keduanya duduk berselonjor di bawah sofa ruang tengah.

”Kalo untuk urusan yang satu ini aku kurang ngerti..Tapi kalo aku jadi kamu, sahabat lebih penting dari segalanya..” ujar Inez. Shelomita mengaduk latte-nya.

”Kayaknya dia udah marah banget sama aku..Aku gak tahu harus bilang apa lagi..” imbuh Shelomita. Hampir tiga tahun ia menutup diri, tanpa teman, tapi Phoebe bersedia jadi temannya tapi sekarang dia hampir kehilangan sosok itu.

”Aku gak nyalahin kamu yang bohong soal darimana tiket itu, meskipun kamu bilang sebenarnya itu gak akan mengubah apapun, dia tetep marah sama kamu..Jadi aku pikir Cuma Kendra yang bilang langsung sama Phoebe, mungkin aja Phoebe mau ngerti..” papar Inez. Shelomita masih terdiam.

”Oya..aku belum pernah nonton serial gossipgirl yang waktu itu kamu bilang..DVD-nya mana?” tanya Inez.

”Ada di kotak CD, ambil aja..” kata Shelomita, Inez beringsut maju dan mengambil sebuah CD dari deretan koleksi DVD Shelomita dan mulai menontonnya.

”Udah..gak usah sedih lagi..Mungkin dia Cuma heran sama kamu..Secara..dia lebih di atas kamu, tapi yang menarik perhatian Kendra justru kamu bukan bintang kelas kayak dia..” terang Inez menenangkan hati Shelomita.

”Aku gak peduli dengan Kendra, Aku Cuma takut kehilangan Phoebe aja..” sergah Shelomita.

”Gak peduli sih gak peduli..tapi ini hampir jadi cinta segitiga..dimana Kendra terlibat di dalamnya..” kata Inez lagi.

”Yah..ketinggalan prolognya kan..” keluh Inez.

Tristan asyik bermain plastation di kamar Kendra. Kendra membolak-balik buku tanpa bermaksud membacanya.

”Shelomita sama Phoebe lagi marahan ya?” tanya Tristan.

”Tahu darimana?” tanya Kendra tak peduli.

”Dari Ray tadi siang, sebelum Arya muncul, mereka sempet adu mulut!” papar Tristan. Ponsel Kendra berdering, Kendra meraihnya dan menatap layar ponselnya. Tristan menekan tombol pause, ingin tahu siapa yang menelepon.

”Halo!” jawab Kendra. Ia mengaktifkan menu loudspeaker agar Tristan juga ikut mendengar.

”Gimana Shelomita?baik-baik aja kan?” tanya orang itu.

”Kenapa lo gak bilang aja lo siapa?” tantang Kendra. Orang tertawa kecil.

”Gue pengen lo tahu sendiri nanti, jangan buru-buru!” kata orang itu tenang.

”Kalo lo ngerasa kita berdua punya urusan, mending langsung selesain aja, gak usah bawa-bawa orang lain!” tantang Kendra lagi.

”Tapi ini bukan sekedar urusan, Ken!Gue mau secara gak langsungnya aja..Pelan-pelan kayak lift yang lagi naik ke atas..” terang orang itu. Tristan saling pandang dan menyimpulkan hal yang sama.

”Jadi lo yang bikin lift di apartemen gak jalan?” pancing Kendra.

”Wah, ketahuan ya!Itu permulaan aja..yang pasti gue mau bikin cewek yang namanya Shelomita itu ngerasa sakit sama kayak gue!” kata orang itu menutup pembicaraan.

”Gue saranin lo jauhin Shelomita dulu deh, Ken!Gue rasa nih orang bener-bener ngamatin kesehariannya Shelomita, bahkan dia tahu Shelomita tinggal dimana!” saran Tristan.

”Tapi tetep aja, dia udah tahu..dia pasti lagi ngerencanain sesuatu!”gumam Kendra.

Oma Eliza kembali membaca berkas-berkas yang masih berserakan di mejanya, matanya tertarik pada map yang diberikan Inez yang berisi sketsa sebuah tas dengan motif daun maple.

”Aku mengambilnya di kamar Shelomita, sepertinya ini bagus untuk diwujudkan!”.


¯¯¯

Jam dinding menunjukkan pukul 1 dini hari. Shelomita tertidur di sofa ruang tengah, Inez juga ikut tertidur bersandar di sofa meninggalkan layar televisi dengan iklan dvd.

”MAMA!” Shelomita berteriak dan terbangun dengan peluh di dahi. Inez terlonjak dan mendapati Shelomita terduduk lemas. Inez segera menyambar segelas air di meja samping sofa. Shelomita meneguknya. Inez memandangnya sedih, anak perempuan yang terduduk di depannya itu sudah dianggap seperti adiknya semenjak ia menggantikan pekerjaan Ibunya. Mimpi tentang kecelakaan itu sering datang dalam tidur Shelomita, membuatnya setengah mati ketakutan.

”Aku gak tahu gimana caranya supaya mimpi itu gak dateng lagi..” gumam Shelomita dengan suara bergetar. Inez menggenggam tangan Shelomita sudah tidak tahu lagi bagaimana menghibur cucu majikannya itu.

”Tuhan benar-benar tidak adil..” gumamnya lagi.

Shelomita bersiap ke sekolah, Inez sudah kembali ke rumah pagi-pagi sekali sebelum Oma Eliza mencari dan mulai berteriak. Shelomita menjepit sandwich di mulutnya sementara tangannya menyambar tas dan mengunci pintu.

”Hei!Mau bareng?” tanya Ariel yang sudah di atas motornya saat Shelomita keluar apartemen.

”Makasih!Masih pagi, jadi aku mau naik taksi aja..” tolak Shelomita sembari tersenyum meninggalkan Ariel.

Kendra berjalan beriringan dengan Tristan, tiba-tiba seseorang menabrak mereka dari belakang, seorang cowok dengan rambut mengkilat karena minyak rambut meraba-raba lantai mencari kacamatanya, Kendra mengambil kacamata yang terjatuh di ujung sepatunya dan memberikannya pada cowok itu, cowok itu buru-buru mengenakannya.

”Maaf ya!Kacamata saya baru dilempar ke kolam sama Arya, jadi basah dan agak buram..” ujarnya. Kendra terlihat tidak peduli.

”Lo yang ada di pestanya Tante Wisnu kan?Lo sekolah disini juga?” tanya Tristan takjub. Cowok itu mengangguk cepat.

”Saya pindah ke sini pas kenaikan tingkat 3!” paparnya. Tristan mengerti kenapa dia baru ngeh kalau cowok culun di depannya ini sekolah di tempat yang sama meski sudah hampir setengah semester berjalan. Kendra berjalan duluan, Tristan menyusul.

Shelomita berjalan menyusuri koridor pelan kepalanya agak pusing. Beberapa siswa nampak bergerombol di depan pintu perpustakaan.

”Gila!Gue baru kali itu ngeliat kecelakaan tragis itu!Serem banget!” ujar seorang siswa pada beberapa temannya.

”Gue jadi ngeri denger cerita lo..Semuanya tewas, Cin?” tanya temannya.

”Ya, iyalah..mobil mereka terbalik masuk jurang dan kebakar!” jawab siswa yang dipanggil Cin itu serius. Shelomita seakan tak bisa bernafas, mimpi, berita, semua terekam di kepalanya.

Hari ini Phoebe absen, Shelomita duduk di pinggir lapangan saat jam istirahat.

”Kamu yang waktu itu di pesta ya?” sapa seseorang. Shelomita menoleh dan mendapatkan cowok culun yang waktu itu bertemunya di rumah Tante Wisnu.

”Kamu sekolah di sini?” tanya Shelomita tak percaya. Cowok itu membetulkan kacamatanya dengan jari kelingkingnya.

”Beberapa orang bilang begitu ke saya, mungkin karena saya gak terkenal!” gumam cowok itu kikuk.

”Oh, saya Farel!” ucapnya sembari mengulurkan tangan. Shelomita membalasnya.

”Shelomita!”.

”Kayaknya saya pernah denger nama kamu dulu deh!” ujarnya.

”Kan yang punya nama itu bukan Cuma aku..” balas Shelomita.

”Oiya,ya!” kata Farel menggaruk-garuk kepalanya.

Tristan berdiri di selusur koridor lantai 3 yang menghadap lapangan, Kendra menghampirinya sembari melempar sekaleng coke, Tristan menangkapnya dan segera meneguk isinya.

”Untuk sekarang lebih baik mantau dia dari jauh aja, Ken!” ujar Tristan. Kendra tidak menjawab, kepalanya agak pusing.

”Ngomong-ngomong..tuh cowok culun ngapain ya?” pikir Tristan yang melihat Farel mengobrol dengan Shelomita, Kendra melirik ke bawah.

”Biarin aja..lebih baik kita mikir gimana caranya untuk tahu siapa penelepon itu!” sergah Kendra.

”Ken, kenapa kita gak nanya aja siapa aja yang punya tiket nonton bola kemaren?” ujar Tristan keras. Kendra menatap lantai.

”Maksud lo biar kita tahu siapa aja yang masuk stadion?” tebak Kendra.

”Lo bilang, orang itu tahu lo lagi nyari Shelomita, artinya dia ada di dalem, dan itu butuh tiket kan?” papar Tristan. Kendra memegang bahu Tristan.

”Good idea!” ujarnya.

”Buat apaan sih, Ken?” tanya Renata ketika Kendra dan Tristan meminta daftar penerima tiket sepak bola seminggu yang lalu.

”Kita nemuin hadiah kecil di salah satu bangku dan itu untuk Kendra tapi gak ada nama yang ngasih, Ren!Kita bermaksud cari tahu siapa orang itu, makanya kita minta bantuan lo!” sambar Tristan tersenyum lebar. Renata mulai mencari berkas di lemari besi ruang osis.

”Dari Shelomita kali, Ken?Bukannya kalian pacaran?” tebak Renata. Kendra dan Tristan saling pandang bingung apakah itu pertanyaan atau pernyataan.

”Kalo dari pacar sih bisa kasih langsung, Ren..Paling ini dari fansnya Kendra..” seloroh Tristan menyikut pinggang Kendra.

”Itu artinya lo ngakuin gue sama ShelomIta pacaran..” bisik Kendra. Renata masih sibuk mencari.

”Biarin aja..namanya juga usaha!” gurau Tristan.

”Gosip apaan sih yang nyebar?” pikir Kendra.

Kendra membolak-balik lembaran kertas di tangannya, daftar nama yang diberikan Phoebe padanya dan Tristan adalah nama-nama siswa Glory.
”Bocah culun ada juga?” ujar Tristan saat menemukan nama Farel ada di deretan nama siswa. Kendra tidak menanggapi.

”Gak ada yang mencurigakan, Ken!” kata Tristan sembari mengucek matanya yang cukup perih membaca puluhan nama siswa Glory.

”Kecuali ada siswa yang ngasih tiket itu ke orang lain..” gumam Kendra. Tristan menghela nafas, bersandar di dinding.

”Aduh..kok kita jadi kayak detektif sih..” keluh Tristan.

Shelomita keluar dari perpustakaan setelah meminjam beberapa buku Fisika setelah jam sekolah usai, masih banyak siswa yang belum pulang khususnya siswa tingkat 3, mereka sibuk ikut pendalaman materi, ujian tengah semester sudah akan dimulai bulan depan, tak terkecuali Shelomita.

Sembari menunggu jam pendalaman materi tiba Kendra bermain basket three on three bersama Tristan dan Seno, mereka melawan Wega, Ray dan Yoga di lapangan basket. Pandangan mata Shelomita mulai gelap, semenjak ia agak renggang dengan Phoebe, Shelomita agak melupakan dirinya sendiri. Shelomita memegang kepalanya dan berjalan bersisian dengan dinding koridor yang menghadap lapangan. Buku-buku ditangannya jatuh dan Shelomita jatuh ke lantai tak sadarkan diri. Farel yang baru keluar dari perpustakaan melihat Shelomita menggelosor di lantai segera berlari menghampiri Shelomita.

”Shelomita!Hei!” katanya sembari menepuk pipi Shelomita yang pucat. Kendra yang menyadari ada sesuatu segera berlari kencang mengejar Farel yang sudah membopong Shelomita ke ruang UKS. Tristan yang berlari di belakang Kendra memungut buku-buku Shelomita yang terjatuh.

”Shelomita!” panggil Kendra cemas. Farel mendekatkan kapas beralkhohol ke hidung Shelomita. Seno masuk dengan terengah-engah.

”Dokter jaga hari ini gak dateng!” katanya. Tristan membuka tas Shelomita.

”Eh, kamu mau ngapain?” tanya Farel.

”Gue tonjok kalo lo pikir gue mau nyolong!” ancem Tristan yang menghubungi kontak di ponsel Shelomita.

Kendra mengusap rambut keriting Shelomita pelan. Wajah Shelomita pucat, Kendra menyentuh kening Shelomita, panas. Shelomita membuka matanya perlahan melihat Kendra cemas di sampingnya, Farel sedang memegang sejumput kapas, Tristan dan Seno berdiri bersisian.

”Badan kamu panas,Ta!” kata Kendra. Shelomita mencoba bangun. Kendra membantunya. Bu Inggrid lewat di depan UKS dan tertarik masuk ke dalam.

”Ada apa ini?” tanyanya melihat Seno, Tristan, Kendra dan Farel mengelilingi ranjang UKS.

”Shelomita pingsan, Ma!Badannya panas banget!” lapor Kendra yang lupa untuk memaggil Ibunya dengan ’Ibu’.

”Aku gak papa kok..Aku mau pulang aja..” kata Shelomita pelan. Bu Inggrid menyentuh kening Shelomita.

”Ke dokter aja ya, Shel?” ajak Bu Iggrid. Shelomita menggeleng.

”Saya gak papa kok, Bu..makasih..” tolak Shelomita. Bu Inggrid memaklumi keras kepala Shelomita.

”Kendra anterin Shelomita pulang biar Mama hubungin Oma Eliza!” perintah Bu Inggrid.

”Oma lagi ke luar kota, Bu!Mungkin gak bisa dihubungin..” kata Shelomita pelan.

”Pantes..gue telponin gak nyambung..” gumam Tristan.

”Ya, udah..kamu pulang dianter Kendra ya!” kata Bu Inggrid seraya keluar.

”Thank’s ya, Rel!” ucap Shelomita, Farel mengangguk.

 Shelomita ingin menolak paerintah Bu Inggrid tapi tidak bisa. Shelomita turun dari ranjang UKS, namun keseimbangan tubuhnya tidak mendukungnya untung Kendra memegangnya. Kendra membopong Shelomita membawanya keluar ruang UKS.

”Thank’s Bro!” kata Kendra sebelum meninggalkan Farel.  Farel terpaku melihatnya.

Kendra mengantar Shelomita ke kamarnya sedangkan Tristan membeli obat di apotik seberang apartemen. Kendra melepas sepatu dan kaos kaki Shelomita yang sudah terbaring di tempat tidurnya.

”Biar aku aja, Ken..” tolak Shelomita yang merasa tidak enak pada Kendra karena sudah merepotkannya.

”Gak papa..kamu istirahat aja!” kata Kendra.

”Maaf ya, aku jadi ngerepotin kamu..” ujar Shelomita pelan. Pikiran Kendra campur aduk tak karuan. Tak sengaja ia melihat bekas jahitan yang memanjang di bagian dalam kaki kiri Shelomita.

”Kamu gak usah minta maaf..aku kan Cuma nolong..” balas Kendra dingin. Ia tidak tahu harus berkata apa. Ia masih teringat Farel menolong Shelomita dan membawanya ke UKS, bukan dirinya. Sejenak keduanya terdiam.

”Aku mikirin Phoebe..”gumam Shelomita.

”Tumben kamu mikirin orang lain..”cela Kendra. Shelomita merasakan ada perubahan dari diri Kendra.

”Dia sahabat aku..” jawab Shelomita singkat.

Tristan tiba membawa bungkusan obat di tangannya dan berjalan menuju kamar Shelomita tapi sesuatu menghentikan gerakannya sebelum masuk ke dalam kamar.

”Ditunda?” tanya Oma Eliza pada Inez.

”Iya..tujuh jam dari sekarang..” jawab Inez. Mereka dan Pak Trisno berada di Surabaya. Inez mendapat telepon dari Tristan yang mengabarkan kalau Shelomita pingsan di sekolah, membuat Oma meninggalkan pekerjaannya.

”Kita naik bis saja!” ujar Oma.

”Kita di Surabaya..Bukan di Rumah Anda.. Setidaknya Kendra menjaga Shelomita di apartemen..” terang Inez.

”Apa?Bocah itu ada di sana?” tanya Oma lagi, kali ini lebih keras. Inez mengangguk merasa bersalah karena keceplosan bicara.

”Ya..Tuhan..kalo dia melakukan sesuatu pada cucuku gimana, Nez?” tanyanya lagi cukup histeris.

”Dia tidak seperti itu..Anda tahu kan?” ucap Inez meyakinkan Oma Eliza.

”Tuhan menghukumku karena membiarkan cucuku yang berusia tujuh belas tahun itu tinggal di apartemen seorang diri..” ratap Oma.

Shelomita tertidur. Sudah hampir pukul 7 malam. Kendra masih berada di sofa ruang tamu apartemen Shelomita. Sebelum pulang, Tristan memberitahunya soal  lubang kunci kamar Shelomita yang tergores-gores. Keduanya belum memutuskan goresan itu bekas apa. Tapi sepertinya bukan hal yang baik. Telepon di meja berdering, Kendra segera menjawabnya.

”Ya..”.

”Heh, bagaimana Shelomita?” tanya seseorang. Kendra mengenalinya sebagai suara Oma Eliza.

”Saya udah kompres pake es, Oma..Sekarang dia tidur..Tadi Tristan juga udah beliin obat di apotik..” papar Kendra.

”Aku tidak tahu harus bilang apa..Tapi...Aku mempercayakan cucuku padamu..” kata Oma. Kendra merasakan perutnya mencelos mendengar Oma Eliza bicara seperti itu.

”Baik Oma..”.

Kendra kembali ke kamar Shelomita. Kendra duduk di tepi tempat tidur Shelomita, membelai rambut Shelomita, jantungnya berdetak lebih keras.

”Sejak kapan kamu mulai ada di kepala aku, Ta?Sejak kapan kamu mulai bikin aku peduli?Kamu tahu? aku cemas karena sepertinya ada seseorang yang mau nyakitin kamu tapi aku gak tahu siapa..Aku tadi marah banget sama diri aku sendiri karena yang pertama nolong kamu bukan aku tapi orang lain..” pikir Kendra.

Pukul dua dinihari, Kendra terjaga. Ia bangkit, rupanya ia tertidur di tepi tempat tidur. Kendra melirik arlojinya, sama-samar terdengar suara di depan pintu, Kendra membuka pintu lalu Oma dan Inez telah berdiri di depan Kendra. Rupanya mereka ribut mencari kunci. Oma menyeruak masuk. Inez menepuk bahu Kendra yang masih mengenakan seragam sekolah.

”Oma saya pamit pulang..” kata Kendra pada Oma yang memeriksa keadaan Shelomita.

”Ya sudah..Terima kasih, salam untuk Ibu-mu..” balas Oma. Kendra mengangguk. Inez mengantarkannya sampai pintu.

”Butuh taksi?” tanyanya.

”Mobil Ibu-ku parkir di luar..” kata Kendra pelan.

”Thank’s Ken..” ujar Inez, Kendra melambaikan tangan.

¯¯¯

Phoebe tiba di sekolah agak pagi. Ia menyusuri koridor pelan. Beberapa siswa mulai berdatangan. Kendra keluar dari kelasnya, Phoebe baru saja ingin menyapa ketika Seno dan Ray muncul menghampiri Kendra yang terlihat lelah.

”Gimana Shelomita, Ken?” tanya Seno yang masih mengunyah roti di mulutnya. Phoebe terpaku di tempatnya berdiri.

”Baikan..gue aja belom tidur..” balas Kendra sembari menggaruk kepalanya. Ray menepuk lengannya.

”Lo nungguin dia?” ledek Ray.

”Oma-nya baru dateng jam dua pagi karena keberangkatannya ketunda tujuh jam..Ya akhirnya gue tungguin..” papar Kendra. Phoebe mengepalkan kedua tangannya.

”Trus hari ini dia sekolah?” tanya Seno lagi.

”Kayaknya nggak..Oma-nya gak bakal ngasih!” ujar Kendra. Ketiganya berjalan menuju kantin.

”Tapi..gak terjadi apa-apa kan Ken?” ledek Ray. Phoebe masih mendengarnya.

”Nggak..apartemen Shelomita kan aman..” kata Kendra. Ray melongo karena terjadi miscomunication. Seno Cuma cengir-cengir melihat keduanya.

Shelomita keluar kamar lengkap dengan seragam sekolah bersiap pergi. Oma dan Inez yang sedang sarapan melongo.

”Sungguh keras kepala anak ini..Heh!Kau itu sedang sakit..Tidak usah sekolah dulu!” larang oma.

”Oma..sebentar lagi mid semester, aku gak mau ketinggalan..” banah Shelomita.

”Kau ini kemarin pingsan di sekolah, untung ada yang menolongmu kalau tidak?” omel Oma.

”Bener, Ta..mendingan istirahat deh..Aku udah telpon sekolah kok..” tambah Inez.

”Lagipula kalo kau tetap keras kepala untuk pergi..Oma akan menginap di sini..”ancam Oma.

Phoebe keluar dari toilet dan kembali ke kelasnya. Waktu istirahat memang masih lama, ia akan membaca materi bahasa indonesia untuk jam berikutnya. Elara muncul di hadapan Phoebe.

”Sayang banget lo kemaren gak masuk..Sahabat lo yang aneh dan gak punya temen itu pingsan di koridor..Tapi gue heran ya..Sobat lo itu gak famous tapi cowok-cowok pada sibuk nolongin dia..” papar Elara. Phoebe terdiam. Kendra muncul dari ruang Osis dan memutuskan berhenti di sudut dinding ketika melihat Phoebe dan Elara.

”Dan lo tahu gak?Sobat lo itu dianter pulang sama cowok yang lo taksir..digendong pula..oh..so sweet..” kata Elara lagi, telinga Phoebe memerah mendengar omongan Elara. Kendra masih berdiri di tempatnya.

”Maksudnya gue?” gumam Kendra. Phoebe beranjak pergi tapi tangannya ditahan sama Elara.

”Dan gosip yang masih hot-hotnya..Kendra nginep di apartemen Shelomita semaleman..Lo gak takut kalo mereka ada apa-apa?” pancing Elara.

”Aku rasa kamu butuh plester buat nutup mulut kamu!” umpat Phoebe. Elara memandangnya benci tapi cukup senang melihat Phoebe kesal.

”Heh..sekali lo nyebarin gosip murahan..gue patahin tangan lo!” ancem Kendra sembari mencengkram tangan Elara. Elara memandang punggung Kendra sebal.

Phoebe bersandar di samping mading. Memikirkan perkataan Elara tadi.

“Lo gak jengukin dia?” tanya Kendra yang sudah ada di samping Phoebe. Phoebe bereaksi.

“Lo tahu dia gak punya temen selain lo..” kata Kendra.

”Kalo gitu kamu nganggep diri kamu siapanya dia?” Phoebe balik bertanya.

”Lo udah tahu jawabannya..” ujar Kendra. Phoebe menahan amarah.

”Jadi bener kamu suka sama dia?” tanya Phoebe lagi. Kendra menatapnya tajam.

”Kalo iya kenapa?Kamu mau jauhin dia kayak saat ini?” Cecar Kendra. Phoebe menahan nafas.

”Tapi aku suka sama kamu..” gumam Phoebe pelan.

”Tapi gue gak suka lo..” balas Kendra.

“Kenapa?Aku lebih di atas Shelomita..” bela Phoebe. Kendra melempar pandangannya ke ujung koridor.

”Iya..lo bener..Lo itu hampir sempurna..Hampir, sampai lo tega jauhin sahabat lo karena ego lo..” papar Kendra. Phoebe menatapnya nanar.
”Yang egois bukan aku tapi dia..dia udah tahu aku suka sama kamu tapi dia tetep deketin kamu sampe dia yang gak pernah dateng ke acara sekolah tiba-tiba aja muncul di stadion..Jadi sekarang siapa yang egois?” balas Phoebe.

”Asal lo tahu ya..dia dateng karena gue yang minta, gue yang kasih tiket masuknya..” kata Kendra. Phoebe menelan ludah.

”Dan gue juga yang deketin dia bukan dia yang deketin gue seperti yang lo pikir..Dia sempet jauhin gue, mungkin karena dia tahu lo suka sama gue jadi dia berusaha untuk gak nyakitin lo..” terang Kendra lgi. Air mata Phoebe meleleh di pipinya.

”Seenggaknya aku gak menarik perhatian dari kelemahan..” bela Phoebe lagi sambil meninggalkan Kendra.

”Lo salah!” kata Kendra membuat Phoebe berhenti.

”Dia gak pernah menarik perhatian tapi justru dia membuat orang tertarik..Dan ada yang mesti lo tahu..Dia terlalu mikirin kemarahan lo sampai dia gak makan selama beberapa hari karena merasa bersalah..” papar Kendra. Phoebe kembali melangkah meninggalkan Kendra.
¯¯¯

Kendra belajar di rumah Tristan. Mereka harus mempersiapkan diri menghadapi ujian tengah semester. Tapi si empunya rumah malah berbaring malas-malasan sambil bermain gitar. Kendra asyik menghafal materi sejarah.

”Jadi..dia suka sama lo..” gumam Tristan. Kendra berhenti menghafal.

”Tambah rumit aja, ya..” keluh Tristan.

”Seenggaknya gue udah kasih penjelasan ke dia..” imbuh Kendra.

”Shelomita terlalu baik..Dia terlalu mikirin Phoebe..” tambah Tristan.

”Ngomong-ngomong gue periksa lubang kunci pintu apartemennya tapi gak ada bekas goresan, Tan..”kata Kendra mengalihkan pembicaraan.

”Apa kita aja yang mikirnya kejauhan..” pikir Tristan. Kendra menggeleng, dia masih memikirkan apa yang dilihatnya dia kaki Shelomita.

Shelomita menekan tombol di depan lift, bersiap untuk ke sekolah. Ariel menghampirinya.

”Hei..Berangkat?”sapa Ariel. Shelomita tersenyum.

”Kamu agak pucet, sakit?” tanya Ariel. Pintu lift terbuka, keduanya masuk.
”Kecapean..” jawab Shelomita singkat.

Shelomita hampir terkejut, Pak Trisno sudah ada di depan lift saat pintu lift terbuka. Shelomita bisa menebak apa yang terjadi.

”Ibu menyuruh saya mengantar-jemput Non ke sekolah..” kata Pak Trisno kemudian tersenyum pada Ariel.

”Ya udah aku duluan ya, Shel!” pamitnya. Shelomita hanya tersenyum.

”Oma selalu begini..” keluh Shelomita seraya berjalan keluar. Pak Trisno mengikutinya.

”Non, saya bawa mobil kok Non, Jadi gak usah nyetop taksi..” kata Pak Trisno katika Shelomita terus berjalan melewati parkiran. Shelomita berbalik dan melihat Pak Trisno mendekati sebuah sedan hitan yang disulap jadi taksi.

”Keras kepala..” gumam Shelomita.

Shelomita keluar dari taksi dan berjalan masuk ke sekolah. Farel datang dari samping dan menyapanya.

”Dah baikan Shel?” tanyanya. Pak Trisno memperhatikan Farel yang sudah berjalan masuk bersama Shelomita, dia nampak berfikir namun segera tancap gas meninggalkan sekolah.

”Udah, makasih ya udah nolongin aku..” kata Shelomita. Farel mengangguk senang seraya membetulkan letak kacamatanya.

Phoebe tidak duduk di sebelah Shelomita lagi ia bertukar tempat dengan Ririn. Kelas yang memang berkapasitas 20 siswa itu hening saat pelajaran sejarah dengan Pak Tegar berlangsung. Shelomita melirik Phoebe di tengah perkataan Pak Tegar tentang kemerdekaan RI.

”Ta, pulang bareng yuk..” ajak Kendra saat menemui Shelomita di kelasnya yang masih membereskan buku-bukunya. Phoebe memperhatikan mereka dari tempat duduknya.

”Pak Trisno udah di depan..Oma nyuruh dia untuk nganter jemput aku..” tolak Shelomita. Dia lega karena bisa menghindari Kendra dengan wajar.

”Oh..ya udah..bagus, berarti kamu aman..” ujar Kendra.

”Aman?” gumam Shelomita bingung. Kendra agak gugup karena keceplosan.

”Maksudnya..kamu jadi gak perlu pulang sendirian kan?” elak Kendra. Shelomita tersenyum kemudian keluar kelas bersama Kendra.

”Lo kenapa, Bi?” tanya Lovina yang heran melihat sikap Phoebe yang tidak seperti biasanya.

”Jadi gosip mereka pacaran itu bener ya?” tanya Ririn pada Lovina.

”Gak tahu..setahu gue Shelomita jarang ngerespon Kendra..” jawab Lovina.

”Eh, Bi lo kan deket sama Shelomita..lo pasti tahu kan?” pancing Ririn. Phoebe gugup.

”Iya..tapi kayaknya lo sekarang agak jauh ya..Abis tukeran rempat duduk segala..lagi marahan?” tanya Lovina.

”Nggak..pengen ganti suasana aja..” hindar Phoebe yang segera meninggalkan kedua temannya itu.

”Hai, Shelomita..” sapa Arya mensejajarkan langkahnya dengan Shelomita yang berjalan di samping Kendra. Kendra pasang tampang jutek ke Arya.

”Pulang bareng sama aku mau gak?” ajak Arya. Shelomita menjauhkan diri sedikit dari Arya.

”Aku udah dijemput!” jawab Shelomita. Kendra melirik Arya seolah berkata ’apa kan?Emang enak?”.

”Daripada kamu ngajak dia..mending ajak aku, aku pasti mau..” sambar Elara yang sudah berada di depan Arya. Shelomita terus berjalan bersama Kendra. Ray yang kebetulan melihat kejadian itu tertawa senang melihat tampang Arya.

¯¯¯

Laundry apartemen agak ramai, beberapa karyawan sibuk menggantung pakaian-pakaian dan bersiap mengantarkannya.

”Wah..seragamnya bagus banget..” puji seorang gadis berkuncir kuda saat menerima satu stel seragam yang terdiri dari kemeja putih dan rok lipit tartan merah berikut dasi yang sama dengan roknya.

”Anterin ke apartemen nomor 2017 ya, Sar!” kata Seorang wanita paruh baya yang bertugas mendistribusikan pakaian. Anak perempuan yang dipanggil ’Sar’ itu mengangguk dan segera keluar membawa beberapa pakaian yang sudah dibungkus plastik.

Bel berbunyi, Shelomita yang baru pulang segera berlari kecil ke pintu dan mendapati seorang gadis seumuran dengannya berdiri memegang beberapa pakaiannya.

”Pakaiannya, Mbak..” ujar Gadis itu riang. Shelomita mengambilnya. Gadis itu mengangsurkan tanda terima.

”Kok bukan Mbak Titin?” tanya Shelomita.

”Dia pulang kampung, jadi saya yang gantiin, saya baru di sini..” terang Gadis itu. Shelomita mengangguk. Kemudian merogoh saku celananya dan memberikan selembar uang lima puluh ribuan pada gadis itu.

”Wah..makasih ya Mbak..”Ujar gadis itu senang. Shelomita mengulurkan tangannya.

”Shelomita!Gak usah panggil Mbak..” salamnya. Gadis melongo sesaat kemudian menyambut uluran tangan itu.

”Saya Sarah..”.

”Makasih ya..” kata Shelomita. Sarah mengangguk cepat. Kemudian teringat bahwa ia harus mengantarkan sisa pakaian di tangannya.

”Oh..Permisi saya mau nganterin pakaian lagi..” pamit Sarah kemudian berlalu.

”Jadi seragam itu punya dia?Bagus banget..seragam gue aja biasa, putih abu-abu..” gumam Sarah di sepanjang koridor.

Sarah masuk ke tempat laundry seraya tersenyum senang. Mbak Eni yang melihatnya geleng-geleng kepala.

”Ada apa sih?Kok senyum-senyum..” tanyanya pada Sarah. Sarah duduk di kursi plastik.

”Baru kerja, udah dapet tip, emang rejeki..” seloroh Sarah seraya memamerkan selembar uang lima puluh ribuannya.

”Ya udah.. kantongin duitnya nanti jatuh, nangis lagi..” ujar Mbak Eni.

”Eh, Mbak..saya kenalan sama cewek yang seragamnya saya anterin, namanya Shelomita..Bagus ya namanya..” terang Sarah. Mbak Eni membolak-balik tanda terima yang diberikan Sarah tadi.

”Oh..dia..” gumam Mbak Eni. Sarah mendekatkan diri dengan Mbak Eni seolah penasaran.

”Mbak kenal dia?” tanyanya semangat.

”Gak terlalu..Cuma tahu aja..” jawab Mbak Eni.

”Orang tuanya kerja ya?Kok sepi banget apartemennya.” kata Sarah.

”Dia tinggal sendiri..”.

”APA?SENDIRI?” Teriak Sarah membuat Mbak Eni bersungut-sungut sembari mengusap telinganya.

”Dia kan masih sekolah..” tambah Sarah tak percaya.

”Kalo kata Titin sih, orangtuanya udah meninggal karena kecelakaan, jadi dia milih tinggal sendirian di sini daripada dirumahnya sama Neneknya yang galak itu..” papar Mbak Eni.

”Wah..kasian amat..” gumam Sarah.

”Kayaknya dia seumuran kamu deh..Kalo gak salah dia tujuh belas tahun, sekolah di sekolah elit..sama kan?” kata Mbak Eni lagi.

”Dia udah lama tinggal di sini?” tanya Sarah lagi.

”Hampir tiga tahun..denger-denger dia tuh gak punya temen, orangnya pendiem..kata Titin dia menutup diri banget..” kata Mbak Eni lagi. Lagi-lagi Sarah pasang tampang kasihan mendengar perkataan Mbak Eni.

¯¯¯

Siswa-siwa serius mengerjakan soal-soal ujian tengah semester. Mereka sudah belajar keras sebelumnya, setidaknya untuk mengukur kemampuan mereka untuk menghadapi ujian akhir nanti.

Shelomita keluar kelas saat jam istirahat. Dia mencari Phoebe. Dia menemukannya sedang duduk membaca buku biologi di pinggil lapangan. Shelomita duduk di samping Phoebe, Phoebe bereaksi dan hendak bangkit, tapi Shelomita menahannya.

”Aku minta maaf..”kata Shelomita.

”Kenapa harus minta maaf?” tanya Phoebe.

”Jujur aku bingung ngeliat sikap kamu..” kata Shelomita.

”Kamu gak perlu bingung..Bukan salah kamu tapi salah aku..harusnya aku yang minta maaf..” balas Phoebe seraya pergi.

Shelomita keluar dari lift sembari membawa bungkusan plastik makanan yang ia beli di restoran depan, badannya terasa pegal karena setelah ujian ia pergi ke toko buku, mencari materi ujian. Shelomita membuka pintu.

”Baru pulang ya?” sapa seseorang. Shelomita menoleh, Sarah tersenyum lebar berdiri di belakangnya.

”Wah..jadi gak enak jadi ikut makan.” seloroh Sarah ketika Shelomita mengajak untuk makan bersamanya.

”Aku yang mestinya gak enak..Kamu udah mau pulang tapi aku ajak ke sini..” bantah Shelomita seraya menuangkan minuman ke gelas. Sarah menyantap nasi goreng seafood yang belum pernah ia makan.

”Kamu sekolah dimana?” tanya Sarah. Shelomita mengaduk spageti bolognise-nya.

”Di SMU Glory tingkat 3, kamu masih sekolah juga?” Shelomita bertanya balik. Sarah menegak air minumnya.

”Iya!Kita sama..masih di tingkat 3!” jawab Sarah. Shelomita mengerutkan dahi.

”Kamu kerja parttime di sini?” tanya Shelomita lagi. Sarah mengangguk.

”Gak takut sekolahnya keganggu?”. Sarah meletakkan sendoknya di piring dan aura wajahnya agak berubah. Shelomita menuunggunya untuk bicara.

”Kalo gak gitu, aku gak bisa bantu cari uang untuk biaya sekolah aku sama adik aku..Jadi terpaksa kerja sepulang sekolah..” papar Sarah pelan. Shelomita mentapnya seolah merasa bersalah.

”Maaf ya..” ucapnya. Sarah kembali memegang sendoknya.

”Gak papa..Ngomong-ngomong enak gak sekolah di Glory?Aku denger fasilitas di sana lengkap ya?” cecar Sarah. Shelomita tersenyum. Ia merasa kasihan melihat Sarah, kerja sepulang sekolah, kapan belajarnya?

”Kamu tinggal dimana?” tanya Shelomita.

”Di deket rel kereta..Aku tinggal sama orangtua sama adik aku..” jawab Sarah.

”Orangtua..”.
¯¯¯

Tristan memacu motornya di jalan, ia hampir telat masuk sekolah karena jam wekernya kehabisan baterai. Tristan berbelok, seorang anak SMU menyebrang. Tristan mengerem, anak SMU itu teriak dan motor Tristan tepat berhenti hanya beberapa centimeter dari anak SMU itu.

”Heh!Kalo nyebrang hati-hati dong!” hardik Tristan emosi sembari membuka penutup wajah helmnya. Anak SMU itu mendekati Tristan dan memukul lengan Tristan keras.

”Ada juga elo yang mesti hati-hati, gue hampir mati ketbrak motor lo ini!” balas cewek itu sembari memukul bagian depan motor Tristan.

”Berani lo ya mukul motor gue!” hardik Tristan. Cewek itu kini berkacak pinggang.

”Minta maaf gak sama gue!” omel cewek itu.

”Ngapain gue minta maaf..ada juga lo yang harusnya minta maaf, minggir!Lo bikin hari gue kacau aja..” bantah Tristan sembari menghidupkan mesin motornya.

”Minta maaf gak!” omel cewek itu seraya memukul lengan Tristan.

”Heh!Lo pikir badan gue samsak!Awas!Gue udah telat!” kata Tristan seraya memacu motornya meninggalkan cewek itu yang melongo kesal.

”Awas kalo ketemu lagi!Gue tonjokkin lo!” ancam cewek itu mengacungkan tinjunya.

Ujian tengah semester sudah selesai tinggal menunggu hasilnya keluar. Sudah pukul lima, Shelomita membereskan peralatan makannya. Ia membuka lemari es, dan melihat isinya sudah mulai kosong. Ia beranjak ke kamarnya, mengenakan cardigan coklatnya dan keluar menuju minimarket apartemen di lantai satu.

Sarah bersiap untuk pulang. Shelomita keluar dari minimarket dengan kantong belanjaan di tangannya.


¯¯¯

Aula sekolah nampak ramai, para siswa sedang berlatih tari saman, ada yang berlatih tari balet, di sudut aula ada beberapa siswa berlatih drama dan yang lainnya sibuk menonton sambil membawa bermacam-macam makanan. Ruang musik juga tak kalah ramai, ada yang berlatih biola, harpa, cello dan piano. Mereka berlatih untuk persiapan festival seni tahunan Glory. SMU Glory tidak mengadakan prom nite untuk perpisahan sekolah, tapi menggantinya dengan festival seni yang akan diisi oleh siswa tingkat 1, 2 dan 3.

Shelomita tidak ikut sibuk seperti yang lain, dia membaca surat pemberitahuan yang baru dibagikan Randy, ketua kelasnya di taman belakang sekolah. Surat undangan pengambilan transkrip tengah semester untuk orangtua atau wali. Semenjak di tingkat satu, Oma yang mengambilnya bahkan kadang Inez karena Oma sibuk atau pergi ke luar kota.

”Loh..kamu gak ikut latihan di aula?” tanya Farel tiba-tiba. Shelomita melipat surat itu dan menyimpannya di saku kemejanya. Farel membetulkan letak kacamatanya, itu adalah gerakan khas dari Farel.

”Aku gak pernah ikut..” jawab Shelomita pelan tak sengaja ia melihat ujung celana putih Farel bernoda lumpur.

”Celana kamu kenapa?” tanya Shelomita.

”Oh..Arya tadi ngelempar buku aku ke parit depan sekolah..karena paritnya dalem, Aku turun..kayak gini deh!” papar Farel dengan tampang melas. Orang ini semenjak menginjakkan kaki di SMU Glory selalu menjadi bulan-bulanan Arya. Penampilan dan sikapnya juga sih yang mancing untuk dikerjain. Rambut tersisir rapi, kacamata minus tebal, seragam rapi, jadilah Arya semangat buat ngerjain ini anak.

”Arya emang gitu sih sama murid yang dianggapnya beda..” gumam Shelomita.

”Iya kali ya..Ngomong-ngomong eskul sepakbola disini bagus ya?Aku nonton mereka waktu itu, daripada basket aku lebih suka sepak bola..Mereka emang sering latihan ya?” tanya Farel.

”Wah..gak tahu deh..gak meratiin tuh..” ujar Shelomita.

”Aku pikir kamu tahu soalnya kata anak-anak kamu sama Kendra pacaran!” sergah Farel. Shelomita agak kaget.

”Gosip..aku sama dia emang udah kenal dari SMP, sama Tristan juga kok..” bantah Shelomita.

”Oya..aku denger siswa disini ada yang meninggal karena kecelakaan ya?Katanya anak eskul sepakbola..” kata Farel lagi. Shelomita membuka memorinya. Seingat dia memang ada yang mengalami kecelakaan dua tahun lalu, namanya David dia satu tim sama Kendra.

”Emang ada Cuma aku gak tahu persis kenapa dan gimana..Itu kan kecelakaan..” terang Shelomita. Dia agak merasa aneh Farel menyakan hal itu, kejadian dua tahun lalu saat ia masih di tingkat satu, dulu David siswa tingkat dua. Farel mengangguk pelan.

¯¯¯

Tristan bermain basket di lapangan tak jauh dari rumahnya. Beberapa remaja seumuran dengannya berjalan mendekatinya. Tristan menghentikan permainannya. Mereka ada empat orang.

”Gak gue sangka lo hebat juga main basket!” kata seorang yang paling depan.

”Kenapa emangnya?” Tanya Tristan. Seorang yang berpakaian seperti preman mendorongnya keras hingga ia tersungkur. Salah seorang dari mereka menginjak kaki Tristan dengan keras, Tristan berteriak, hendak bangun tapi tangan dan tubuhnya ditahan orang teman mereka yang lain. Orang itu menginjak kakinya lagi kali ini lebih keras. Tristan berteriak.

”Kaki lo itu aset kan?” tanya orang yang menginjak kakinya.

”Jauhin dia sekarang juga!” ucap seseorang, Tristan mengenali suara itu. Kendra menerobos kerumunan kecil itu dan menyingkirkan empat begundal yang menganiaya sahabatnya. Dua orang satpam berlari dan empat orang itu kabur meninggalkan mereka. Kendra memapah Tristan meninggalkan lapangan.

”Lain kali kalo punya masalah cerita ke gue!Kaki lo itu berharga banget!” kata Kendra pada Tristan. Mereka mungkin suruhan lawan main tim basket Glory dua bulan lalu yang dikalahkan Tristan cs di pertandingan, rupanya mereka tak terima, beruntung Kendra sempat mendengar itu dan segera mencari Tristan.

”Jadi kamu ngambil sketsa itu?Pantes aku cari gak nemu aku pikir gak sengaja kebuang..” kata Shelomita pada Inez di apartemennya.

”Trus..itu bungkusan apa?”tanya Shelomita sembari menunjuk bungkusan plastik sofa ruang tamu dengan dagunya. Inez membuka bungkusan itu dan memberikannya pada Shelomita. Shelomita terkejut.

”Ini..” Shelomita meraihnya, sebuah totte bag putih oranye dengan motif guguran mapple berwarna oranye kemerahan.

”Jadi sketsa itu..”.

”Yup!Aku bilang kalo sketsa itu bisa diwujudkan jadi Oma kamu ngirim sketsa itu ke factory di Bandung dan segera diproduksi..Kamu tahu Rika kan?Desainer konveksi disana..Dia ngembangin ide kamu untuk handbag dan dompet..Jadilah seperti ini!Dua hari lalu udah dilempar ke pasaran dan temen aku bilang udah ada di mall..Hebat kan..Oma gak nyangka kalo kamu bisa ngedesain, gimana kalo kamu belajar desain setelah lulus nanti..” papar Inez bersemangat. Shelomita masih mengamati tas di tangannya. Ada logo besi bertuliskan ’ALSHE’ dibagian depan tas.

”ALSHE itu apa?” tanyanya.

”Itu nama kamu, Non..Kependekan dari Aluna Shelomita..gimana sih?” balas Inez.

”Ceroboh amat tanpa minta izin dari aku dulu!” gumam Shelomita.

”Oma bilang kamu gak akan mau!” ujar Inez.

”Ngomong-ngomong..aku pinjem dvd Gossip Girl dong..tapi yang season 2..ternyata aku suka..Aku jadi pengen kayak Blair atau Sherena..” kata Inez.

Pagi ini agak mendung. Kendra menyantap nasi gorengnya dengan malas. Mamanya keluar dari kamar dan ikut bergabung di meja makan. Kendra melihat tas tangan Ibunya sekilas.

”Tas baru, Ma?” tanyanya.

”Iya!Oma Eliza ngirim ini kemarin..Dia bilang ini desain Shelomita!” kata Ibunya. Kendra mngerutkan kening.

”Shelomita bisa desain?” tanyanya bingung.

”Iya..ini buktinya lagian ada inisial namanya..Nih..” ujar Ibunya seraya menunjukkan logo di bagian depan tasnya.

Hari ini pengambilan transkrip tengah semester, pukul 9 pagi itu, para orangtua siswa mulai berdatangan ke sekolah. Shelomita duduk di pinggir lapangan, beberapa siswa cowok asyik bermain basket. Shelomita menatap teman-temannya yang datang bersama Ibu atau Ayah mereka. Shelomita merasa iri.

”Oma gak bisa datang besok..Oma akan pergi ke Surabayarsama Inez, mungkin setelah Oma pulang baru bisa Oma ambil.. ”.

Shelomita mengingat perkataan Oma di telepon kemarin. Elara yang baru tiba bersama Ibunya melihat Shelomita duduk sendirian di pinggir lapangan, kemudian memutuskan untuk menghampiri Shelomita.

”Aduh, duh, duh,duh..kasian sekali siswa yang satu ini..Coba gue tebak...pasti Oma lo gak bisa ambil transkrip lo ya?Kasian deh lo..” sindir Elara. Shelomita melihat tas yang dibawa Elara. Elara mengetahuinya.

”Asal lo tahu ya..Tas ini tuh produk baru..Bagus kan?Lo punya gak?Jangan-jangan gak punya lagi..Tas ini emang cocok dipake sama orang yang glamour kayak gue ini..” ceoros Elara bangga. Shelomita tersenyum sinis.

”Mungkin aku gak punya..Tapi aku punya hak cipta tas itu!” ujar Shelomita meninggalkan Elara yang bingung.

”Gue harap lo mati terhormat!” ejek Tristan yang sudah ada di belakang Elara bersama Kendra.

”Tas itu desain Shelomita..Emang lo gak tahu kepanjangan ALSHE?” ledek Kendra dingin. Elara memperhatikan logo tasnya.

”WHAT!”.

Shelomita keluar dari gedung sekolah, para orang tua sudah banyak yang datang. Shelomita mematung di depan papan pengumuman. Sangat iri dengan situasi di sana. Setidaknya mereka punya orang tua.

”Aku mau ke suatu tempat..Mau ikut?”tanya Kendra yang sudah bersiap dengan helmnya.

Shelomita mengikuti Kendra menyusuri jalan setapak di sebuah area. Suasananya nyaman dengan rimbunan pepohonan dan rumput hijau. Bunga-bunga kamboja menghiasi tiap sisi bangunan besar di ujung jalan setapak. Banyak anak-anak kecil berlarian ke sana-kemari. Kendra mengajaknya ke sebuah panti asuhan. Mereka masuk ke sebuah ruangan. Di sana ada beberapa anak-anak yang asyik belajar origami bersama seorang wanita setengah baya. Kendra mengangguk padanya, wanita itu tersenyum. Anak-anak itu begitu senang melipat kertas warna-warni dihadapan mereka.

”Mereka semua anak yatim piatu..” ujar Kendra. Shelomita bereaksi sedikit.

”Ada yang terang-terangan dititipkan di sini..Tapi ada pula yang menyerahkan mereka di dalam kardus tanpa nama orang tua..Mereka dibuang..” Papar Kendra. Nafas Shelomita tercekat.

”Mereka dibesarkan bersama di sini tanpa mereka tahu siapa orang tua mereka..Apa masih hidup atau sudah meninggal..Mereka gak pernah tahu..Tapi kamu bisa melihat keriangan mereka di sini..” lanjut Kendra. Kedua mata Shelomita berlinang. Seorang gadis kecil berusia sekitar empat tahun menghampiri mereka berdua. Wanita yang sedang mengasuh mereka tersenyum kecil melihatnya.

”Kak..apa kakak bisa main piano yang ada di sana?” tanyanya, tangan kirinya menggamit tangan Shelomita, tangan kanannya menunjuk sebuah piano di sudut ruangan yang terlihat tua. Kendra memandangnya dengan tatapan ’mainkanlah..buat mereka senang!’.

Anak-anak itu mengelilingi Shelomita. Shelomita menatap deretan tuts piano yang dulu sering ia mainkan. Jari-jarinya agak gemetar. Ada pergolakan batin di hatinya. Wanita itu dan Kendra berdiri di ambang pintu.

”Ini lagu over the rainbow..mau Mama ajarin?Ini lagu tentang kehidupan anak-anak yang penuh dengan warna..seperti warna pelangi..Masih ingat warna pelangi?” Ibunya bertanya di depan sebuah piano di ruang keluarga.

”Tentu saja aku ingat!Mejikuhibiniu!”.

Percakapan itu masih terekam dalam benak Shelomita. Jarinya bergerak menekan tuts piano, memainkan lagu pertanya dulu, over the rainbow. Anak-anak itu ikut menyanyi mengiringi dentingan piano. Shelomita bisa merasakan kehadiran Ibunya, air matanya jatuh di atas deretan tuts. Sekarang ia tahu ia telah egois terhadap hidupnya.

When I see the sky after raining..
I found many colour painted in the sky..
It’s so beautifull..
Amazing for me..
My mother said it’s the rainbow..
The rainbow in the sky..
What’s a  beautifull of you..
I want to over the rainbow..
Over the rainbow..

Shelomita bangkit dan berlari keluar ruangan. Kendra mengejarnya. Shelomita duduk di bawah sebuah pohon di samping bangunan. Ia menangis sesunggukan. Kendra menyodorkan sapu tangannya.

”Aku jauh lebih beruntung dibanding mereka..Setidaknya aku pernah merasakan kasih sayang orangtua..Pernah hidup dengan keduanya..tertawa bersama..Tapi mereka..Aku sungguh egois..menganggap hanya diriku orang paling menderita di dunia ini..” papar Shelomita, matanya memerah.

”Kakak kenapa nangis?” tanya gadis kecil tadi.

”Kakak Cuma teringat sesuatu..kakak minta maaf tidak bisa menyelasaikan lagu itu..” ujar Shelomita.

”Tapi apa kakak akan mainkan untuk kami lagi?”tanyanya. Shelomita kembali menitikkkan air mata. Betapa hal ini amat menyadarkannya. Shelomita mengangguk.

”Suatu saat kakak akan kembali ke sini untuk menyelesaikan lagu itu..” jawab Shelomita. Gadis kecil itu tertawa senang.

”Janji?” tanyanya seraya menyodorkan jari kelingking kecilnya. Shelomita mengangguk seraya menyilangkan kelingkingnya.

Shelomita berjalan ke arah apartemennya. Kendra ada di sampingnya. Shelomita masih menangis. Beberapa orang yang melewati mereka menatap dengan heran.

”Aduh..udah dong..berhenti nangisnya..Orang-orang itu nganggep aku yang bikin nangis kamu..” kata Kendra mulai cemas. Tangis Shelomita makin keras. Kendra bingung harus berbuat apa.

¯¯¯

Shelomita termenung di jok belakang mobil. Pak Trisno mengantarnya pulang. Tak sengaja ia melihat seorang gadis yang mengenakan seragam SMU Glory dikerumuni oleh tiga orang preman, sepertinya mereka mau meminta uang terang-terangan pada gadis itu. Shelomita memperjelas penglihatannya dan gadis itu ternyata Phoebe.

”Pak, bisa tolong dia sebentar?” tanya Shelomita. Pak Trisno keluar dari mobil dan menghampiri mereka. Shelomita tak mendengar apa yang dikatakan Pak Trisno karena ia tidak keluar dari mobil, ia tahu Phoebe tak akan suka melihatnya. Phoebe tahu orang yang menolongnya, supir Shelomita. Dan ia bisa melihat Sheomita duduk menunggu di dalam mobil di sebrang jalan.

Non..ada titipan!” kata seorang satpam saat Shelomita melewati lobi. Shelomita menerima sebuah folder plastik itu dan melihat isinya. Transkrip nilai sementara miliknya.

”Siapa yang kasih, Pak?” tanya Shelomita penasaran.

”Dia gak mau nyebut namanya, Non..Tapi orangnya sih masih muda..Cowok..rambutnya agak keriting..tinggi..” papar Satpam itu.

”Apa orang itu?” pikir Shelomita.

Shelomita keluar dari restoran membawa beberapa kantong plastik berisi makanan. Biasanya ia memesannya lewat telpon pesan antar. Tapi berhubung hari minggu, ia berjalan sendiri ke restoran yang tepat berada di depan apartemen. Ia berdiri di pinggir jalan bersiap untuk menyebrang, kakinya mulai melangkah. Ponselnya berdering. Private number.

”Ya..halo!Halo!” ucapnya namun tak ada jawaban. Shelomita terus berjalan. Sebuah mobil melaju dengan kecepatan kencang.

”SHELOMITA, AWAS!”. Seorang cowok menariknya dari jalan dan mereka terjatuh di trotoar makanan yang dibawa Shelomita hancur berantakan. Shelomita bangkit dan mengusap lengannya yang lecet. Ia mendongak, kaget dengan sosok yang berdiri di hadapannya.

”Kak Denis?”.

Denis mengajak Shelomita ke sebuah kantor kecil dengan dinding kaca tembus pandang. Shelomita mengikuti Denis masuk ke dalam.

”Dik!Tolong bawain kotak p3k dong!” kata Denis pada seorang ob yang berseragam biru langit.

Denis mengolesi lengan Shelomita yang lecet dengan betadine, Shelomita tersentak perih.

”Untung ada gue..Kalo nggak, lo udah ketabrak!” ujar Denis. Shelomita menatap tajam sosok yang memiliki rambut hampir sama dengannya itu. Sekarang dia tahu siapa yang mengambil transkrip nilai tengah semesternya.

”Ngeliatnya gak usah kayak gitu kenapa?Lo kagum sama ketampanan gue?” seloroh Denis.

”Kenapa Kakak pergi?”tanyanya pelan. Denis menatap adiknya itu.

”Harusnya pertanyaan itu buat lo juga!” ledeknya sembari menoel hidung Shelomita.

”Tapi Kakak pergi terlalu lama..Bahkan Kakak nggak hadir di pemakaman..” ucap Shelomita pelan. Denis membetulkan posisi duduknya sembari  merangkul Shelomita, mencoba mengakrabkan diri.

”Lo kan tahu masalah gue sama Si Nenek sihir itu..Dia selalu ngatur hidup gue, lo tahu gue nggak suka..Jadi daripada gue kena sihir mending gue pergi..Kalo masalah gue gak dateng waktu itu lo salah..” papar Denis. Shelomita kembali menatapnya bingung kakaknya yang usianya terpaut sepuluh tahun diatasnya  

”Gue dateng kali..Nyamar diantara pelayat, hebat kan gue!” ujar Denis tersenyum lebar.

”Kak, itu bukan kehebatan..Saat itu aku butuh Kakak!Bukan Inez bukan Pak Trisno bukan Bu Sri atau Mbak Leli bahkan bukan Oma!” protes Shelomita.

”Gue minta maaf...Gue nggak ada di samping lo waktu itu..”.

”Aku pikir Kakak juga benci aku karena Cuma aku yang selamat dari kecelakaan itu...Aku pikir Kakak ikut ngebenci aku karena Mama Papa meninggal..” terang Shelomita, matanya mulai basah. Denis memeluk Shelomita yang mulai menangis.

”Gue bener-bener minta maaf..Gue bukan Kakak yang baik buat lo..Sekarang kita udah ketemu..Lo gak perlu nangis lagi..” hibur Denis mengusap air mata Shelomita.

”Anak siapa tuh yang lo bikin nangis?” tanya seorang cowok yang lewat membawa beberapa map.

”Anak siapa, lagi lo!Adek gue nih” hardik Denis. Cowok itu langsung menghambur ke arah mereka, sembari mengulurkan tangan pada Shelomita tapi keburu ditampar Denis.

”Siapa aja asal bukan adek gue!” omelnya.

”Dia ini Aga, pedofilia!” canda Denis. Aga bersungut-sungut mendengarnya yang memang hal itu tidak benar.

”Kalo Kakak hebat kenapa bisa kerja di sini?Kakak kan pergi dari rumah setelah lulus SMP?” tanya Shelomita saat Denis mengajaknya makan siang di sebuah cafe samping kantor.

”Gue dibantuin temen gue buat dapet beasiswa di SMU kita emang akrab karena sama-sama ikut eskul karate,setelah lulus gue kuliah desain atas beasiswa ujian masuk itu juga karna temen gue tadi!Pas lulus gue magang di kantor bokap temen gue itu, setahun kemudian bokapnya dia ngasih modal buat diriin kantor desain advertising, gue gabung deh sampe sekarang!” papar Denis bersemangat.

”Kalo Kakak bisa ngambilin transkrip nilai aku, artinya Kakak nyelidikin aku kan?” pancing Shelomita.

”Yah..ketahuan!” seloroh Denis lucu. Shelomita pasang tampang ’tuh..kan..’.

”Kenapa sih pake tinggal di apartemen?”tanya Denis. Shelomita mengaduk lemon tea-nya.

Seno duduk di kursi dengan meja bernomor 7 di sudut cafe. Tak sengaja ia melihat Shelomita.

”Aku ngerasa bersalah karena Papa Mama meninggal..” kata Shelomita. Denis menggenggam tangan Shelomita, mencoba menenangkannya.

”Lo gak perlu ngerasa bersalah..Itu takdir, Ta!” ucap Denis.

”Hampir tiga tahun aku ketakutan karena kecelakaan itu kadang datang di mimpi aku..Aku hidup sendirian tanpa mau bersosialisasi sama temen-temen aku..Aku terpaksa nerima cibiran Elara karena tiap pulang pergi ke sekolah aku selalu naik taksi karena aku trauma dengan mobil..Aku gak bisa ikut kegiatan olah raga karena kaki aku, Kak..”.

”Gue udah denger hal itu..Dua tahun lalu gue pernah ketemu Pak Trisno dan dia cerita mengenai kepergian lo ke Singapura..Sekarang gue ada di sini..Lo gak sendiri lagi..” hibur Denis.

¯¯¯

”Gue baru aja nabrak cewek itu pake mobil gue..” kata seseorang di telepon. Kendra mengepalkan tangannya.

”LO APAIN SHELOMITA HAH?!” hardik Kendra, wajahnya merah padam karena marah. Orang itu tertawa.

”Aduh gue jadi takut nih!Cewek itu beruntung karena ditolong orang sebelum bemper depan mobil gue nyentuh dia..”papar orang itu.

”Gue bersumpah kalo terjadi apa-apa sama Shelomita, gue bakal nuntut bales sama lo!” ancem Kendra.

”Kenapa nggak?” kata orang itu langsung menutup pembicaraan. Kendra tidak bisa menelepon balik orang itu karena ia menyembunyikan nomornya.

”DAMN IT!” teriaknya melempar ponsel ke atas ranjang.

Denis mengantarkan Shelomita sampai di apartemen.

”Gue saranin mending lo pulang ke rumah..Gak baik anak cewek tinggal sendirian di sini..Apa kata orang nanti?” saran Denis.

”Kak Denis sendiri harus pulang juga dong, masak aku doang?” rajuk Shelomita. Enis mengacak rambut ikal Shelomita, rambut yang  sama seperti dirinya. Shelomita menepisnya dan berusaha memperbaiki tatanan rambutnya.

”Gue ini cowok, Ta..bisa hidup dimana aja..Dah sana masuk!” ujar Denis. Shelomita tersenyum masuk pintu apartemen. Denis mengawasinya sampai Shelomita berbelok menuju lift.

¯¯¯

Shelomita melepas bandonya dan duduk menghadap cermin. Sepertinya hidupnya akan lebih mudah. Shelomita melirik sebuah amplop berkop Universitas Negeri New York di atas meja riasnya.

Bel istirahat berbunyi ratusan murid berbalut tartan berhamburan keluar kelas, sebagian memilih ke kantin, sebagian lagi pergi ke perpustakaan, ke lapangan basket,dan Shelomita memilih menemui Miss Kang Yvette, guru bahasa inggris berdarah prancis-korea.

Kendra menarik tangan Shelomita sebelum gadis itu meraih kenop pintu ruang guru. Shelomita tersentak.

”Kamu gak papa kan, Ta?Ada yang luka gak?”runtun Kendra membuat Shelomita tidak nyaman.

”Kamu kenapa sih?Kok tiba-tiba..”.

”Tangan kamu luka?Gara-gara kemarin kan?” tambah Kendra membuat Shelomita bingung. Shelomita menghentakkan tangannya dan menatap Kendra tajam.

”Gara-gara kemarin?Kamu tahu darimana?” selidik Shelomita. Kendra berubah jadi gugup. Shelomita masih menunggu.

”Aku..Itu..Mmm..Anu..”.

”Aku gak berharap orang yang nyerempet aku itu kamu!” kata Shelomita meninggalkan Kendra masuk ke ruang guru. Kendra memandang pintu di depannya, merasa bersalah.

”Salah lo juga sih, Ken!Lo gegabah!Sekarang dia alah curiga yang coba nyelakain dia kemarin itu elo!”ujar Tristan seraya melahap burger yang dibelinya di kantin. Kendra berjongkok di tepi kolam ikan belakang sekolah, melempar kerikil kecil ke kolam.

”Orang itu sekarang makin gila!Ini gak bisa dibiarin, Tan!”ujar Kendra. Tristan mengunyah gigitan terakhir.

”Lo udah ngomong kayak gitu berkali-kali, Ken!Gue rasa mulut lo sekarang udah berbisa..eh berbusa!” ledek Tristan.

Farel menyusuri koridor lantai satu, tak sengaja melihat Shelomita keluar dari ruang guru dengan beberapa lembar modul di tangannya.

”Shelomita!” panggilnya. Shelomita menoleh mendapati Farel berlari ke arahnya.

”Abis ngapain?” tanyanya.

”Diskusi sama Miss Yvette!” jawab Shelomita singkat. Farel mengangguk-ngangguk.

”Udah ke kantin?” tanyanya lagi.

”Aku bawa bekal dari rumah kok!”. Bel kembali berbunyi.

”Udah masuk!Aku duluan ya!” kata Shelomita meninggalkan Farel yang memang tidak sekelas dengannya.

”Ok..cd berisi soal-soal matematika sudah dibagikan semua..Saya minta kalian pelajari semua itu di rumah kalau kalian ingin lulus dari sekolah ini!Di dalam cd itu ada seratus soal matematika dari semua materi tingkat satu sampai tiga, jadi kalian tidak hanya menggantungkan latihan di kelas tapi juga di rumah!Ok, Selamat siang!” papar Pak Toni.

”Siang Pak!” sahut anak-anak. Phoebe menatap Shelomita dari sudut kelas. Ia belum berbicara dengan Shelomita. Shelomita memasukkan buku-bukunya ke dalam tas. Beberapa siswa sudah keluar. Kendra menyeruak masuk ke dalam kelas menuju meja Shelomita. Phoebe melebarkan pandangannya.

”Shel!Pulang bareng yok!” ajak Kendra. Shelomita melirik sebentar ke Kendra, ia masih kesal dengan sikap anak laki-laki di hadapannya saat jam istirahat tadi.

”Aku dijemput!Maaf!” ujar Shelomita bergegas keluar kelas. Beberapa siswa sedikit memandang mereka.

”Aku minta maaf soal tadi!” kata Kendra membuat Shelomita berhenti di ambang pintu.

”Omongan kamu tadi itu bikin aku curiga kecuali kalo kamu bilang darimana kamu tahu itu!” papar Shelomita.

Shelomita celingukan mencari Pak Trisno yang diberi tugas mengantar jemputnya dengan taksi palsu oleh ’Nenek Sihir’. Biasanya Pak Trisno gak pernah terlambat.

”Pak Trisno udah gue suruh pulang!Hari ini gue yang jemput lo!” ujar seseorang dari atas sebuah motor. Shelomita menghampirinya. Elara mengipas-ngipas dirinya dengan kipas bulu pinknya setelah keluar gedung sekolah, matanya menangkap sebuah sosok di parkiran motor.

”Oh, MG..What’s a handsome boy!”desahnya sembari menatap Denis yang mulai mengenakan helm.

”Wait!Wait!Looks, Who’s there!Oh, My Gosh, cewek parasit?!” katanya seolah tak percaya cowok ganteng yang ia maksud sedang berbicara dengan Shelomita. Seno muncul dari belakang Elara membawa bola sepak, mengikiuti arah pandangan Elara.

”Welcome!”Sahut Denis senang saat dia dan Shelomita berada di dufan. Shelomita meneguk air mineralnya.

”Biasa aja kali..Aku kan udah pernah ke sini!” sergah Shelomita. Denis menatap adik semata wayangnya itu.

”Seneng dikit kek!Gue udah susah payah izin sama Rama buat ngajak lo ke sini!” seloroh Denis.

”Iya, iya..Seneng kok Kak Denis!” ujar Shelomita, Denis kembali tersenyum lebar.

”Ok..wahana pertama yang beruntung untuk dinaiki oleh dua saudara paling keren ini adalah..Roller Coaster!” eriaknya sembari menarik tangan Shelomita menuju antrian halilintar.

”Huek!”. Wajah Denis memerah, Shelomita menyodorkan tisu padanya. Denis memintanya lagi, Shelomita memberikan satu pak kecil tisunya pada Denis yang muntah setelah naik roller coaster.

”Aku kan tadi udah bilang biasa aja!Gini nih kalo terlalu seneng!Kakak kan selalu gini abis naik roller coaster..” gumam Shelomita.

”Gue pikir kebiasaan itu udah ilang..ternyata belom..” keluh Denis.

”Hhhh..sekarang kemana nih?” tanya Shelomita agak kesal.

”Makan dulu deh!Kepala gue pusing nih!” ujar Denis.

”Yang bener dong, Ken!” protes Adi setelah berkali-kali tendangan Kendra berhasil ditahannya di mulut gawang. Kendra memberi isyarat istirahat, anak-anak itu berlarian ke pinggir lapangan. Kendra meneguk air mineralnya.

”Belakangan permainan lo kurang bagus Ken!” sahut Ray. Beberapa anak yang lain mengangguk setuju atas pendapat Ray.

”Fokus dong, Ken!”ujar Adi.

”Jangan mikirin pacar di lapangan!” ledek Raka yang segera berlari sebelum Kendra melemparinya dengan sepatu.

”Lo berdua tuh belom jadian, tapi sebagian anak-anak ngira udah jadian..Lucu!” seloroh Seno.

”Gue mikirin Shelomita, Sen!” gumam Kendra, Seno merasa tertarik untuk mendengarnya lebih lanjut.

”Gimana ya..Sebenarnya sih ada yang mau gue bilang ke elo..” ujar Seno, Kendra menatapnya curiga.

”Lo naksir dia?” tuduh Kendra. Seno menatapnya sebal.

”Bukan..Tapi... udah dua kali gue liat Shelomita sama cowok!” kata Seno. Kendra menatapnya tak percaya.

”Dimana?” desak Kendra.

”Di cafe sama tadi pulang sekolah, Shelomita dijemput sama cowok itu pake motor..” kata Seno.

”Lo kenal?” desak Kendra lagi.

”Nggak sih..tapi gue ngerasa familiar liat mukanya..” jawab Seno. Kendra menatap tanah.

”Apa orang itu ya?”.

Dufan sore itu agak sepi, mungkin karena bukan hari libur. Denis dan Shelomita menikmati es krim sembari menikmati pemandangan dari bianglala. Denis melirik rok mini Shelomita yang ia belikan di mall sebelum ke dufan.

”Aturannya lo jangan pake rok mini!Pantes aja cowok-cowok pada ngeliatin lo!Gue jadi ekstra jagain lo!” protes Denis.

”Aku gak mau bikin orang berfikir, kenapa Shelomita selalu pake celana panjang, apa ada yang harus ditutupin?” papar Shelomita. Semilir angin meniupkan rambut curly-nya.

”Good reason..Dan boleh gue tahu gimana caranya lo samarin itu?” ledek Denis.

”Concealer!”.

¯¯¯

Oma masuk ke rumah diikuti Inez. Sementara Inez pergi ke dapur, Oma duduk di sofa ruang keluarga. Ia mendapati Pak Trisno masuk rumah.

”Ada yang mau kau sampaikan, Tris?” tanyanya.

”Kakak udah mau 27 tahun, kapan menikah?” tanya Shelomita. Raut wajah Denis agak berubah. Shelomita mencium ada sesuatu yang disembunyikan oleh Kakak-nya itu.

“Lo kayak orang tua menjelang umur 27 pasti ditanyain ‘kapan nikah?’”. balas Denis.

”Kakak udah punya pacar kan?” selidik Shelomita.

”Sok tahu!” ujar Denis.

”Berarti jawabannya iya!” tebak Shelomita menghabiskan gigitan terakhir es krimnya. Denis tertawa kaku, cepat atau lambat Shelomita akan tahu juga.

”Lo mau lanjut kuliah dimana?” alih Denis. Shelomita menatap wahana tornado di bawah, sekarang mereka berada di puncak bianglala. Angin semakin kencang.

”Gak tahu pasti!” jawab Shelomita.

”Harus pasti!Gue tahu pasti Nenek sihir itu ikut campur dalam hal ini!” sahut Denis.

“Ada dua pilihan!”. Ujar Shelomita.

¯¯¯

Para siswa agak tegang pagi itu, hari ini hari terakhir ujian akhir nasional. Beberapa siswa membaca modul matematika di meja masing-masing. Ada yang sibuk memeriksa kelengkapan alat tulis, Shelomita duduk tenang di kursinya sembari sesekali memejamkan mata kembali mengulang rumus yang sudah ia pelajari mati-matian sebelumnya.

Shelomita menatap deretan 30 soal matematika di depannya. Ia meraih pensilnya dan mulai menghitung.

Tristan menggaruk kepalanya setelah selesai ujian. Kepalanya serasa mau meledak setelah dipakai berfikir untuk memecahkan soal matematika.

”Aduh..mudah-mudahan gue lulus!” doanya. Kendra tak membalas perkataan Tristan.

”Heh!Jangan mencampur adukkan masalah pendidikan dengan percintaan!” ledek Tristan sok tahu setelah menyadari sikap Kendra yang agak berbeda. Kendra bereaksi.

”Tahu..Gue Cuma bingung!” sahut Kendra.

”Lo mah selalu bingung!Bingung apa Shelomita suka sama lo pa nggak!Bingung apa Shelomita mau diminta untuk tampil di festival seni nanti!Bingung gimana caranya bantu Shelomita!Bingung..”. Tristan berhenti bicara setelah Kendra mengacungkan tinjunya tepat di depan wajahnya.

Shelomita bergegas keluar kelas, Denis bilang dia mau jemput. Langkah Shelomita berhenti di depan kelas karena Farel melambai ke arahnya.

”Udah mau pulang ?” tanyanya.

”Ya, aku udah dijemput!Aku duluan ya!” pamit Shelomita seraya berlari kecil menyusuri koridor lantai dua.

”Tuh liat!Si kutu buku kayaknya tertarik sama gebetan lo!Gak takut kesaing?” ledek Tristan. Kendra diam sesaat.

”Pasti bingung lagi!” gumam Tristan.

”Kok gue ngerasa familiar ya sama dia?” gumam Kendra membuat Tristan bingung.

”Ya iyalah familiar!Dia kan tipe orang yang bayangannya tipis!” balas Tristan.

Shelomita tidak menemukan Denis di parkiran, ponselnya juga tidak aktif. Elara muncul, dan berjalan ke arahnya.

”Oh..Look!Who’s there!Nungguin pacar lo ya?” ejek Elara. Shelomita tidak mempedulikan Elara malah sibuk menelepon Denis.

”Gue dicuekin!” gumam Elara kesal.

”Gue gak nyangka ya sama lo!Shelomita yang misterius, yang ditinggalin sahabatnya, yang gak famous, tiba-tiba aja dijemput sama cowok ganteng beberapa hari lalu..Pake cara apa lo dapetinnya?” ejek Elara. Shelomita masih tidak memperdulikan omongan Elara.

”Well..Apa Kendra tahu tentang ini?Gosip yang beredar kan Kendra naksir elo..Tapi ternyata Shelomita ini punya selera yang bagus juga..” lanjut Elara. Kendra mendengar pembicaraan Elara.

”Udah 3 tahun aku sekolah di sini, dan sebentar lagi mau lulus..Kamu gak cape gangguin aku?” tanya Shelomita.

”Oleh karena udah mau lulus gue harus puasin gangguin lo!” sahut Elara.

”Gue pikir lo mau nyerah buat dapetin Arya?Pancingan lo yang selalu lepas itu?” ledek Kendra. Shelomita agak terkejut Kendra sudah ada di belakang mereka. Dia masih kesal dengan Kendra yang menurutnya telah menyembunyikan sesuatu dari dirinya.

”Daripada ngebahas gue..Mending lo udahan aja naksir cewek satu ini!” kata Elara seraya menunjuk Shelomita. Shelomita menatapnya tajam.

”Gue udah males banget ya sama lagak lo yang kayak Miss know it all itu!Mending lo pergi aja deh!” ujar Kendra.

”Terserah deh..asal lo tahu ya..cewek ini tuh udah punya pacar..Jadi buat apa lo masih ngebelain dia?Cewek ini bukan kayak..”.

”Bukan kayak lo!” lanjut Kendra. Elara melotot. Shelomita terdiam ditempatnya selagi Anak laki-laki di dekatnya itu sedang membelanya. Elara mendesis sebenatar kemudian pergi setelah elemparkan tatapan marah pada Kendra. Shelomita menatap ujung sepatunya.

”Udah dateng jemputanyna?” tanya Kendra.

”Belom!” jawab Shelomita, dia tahu Kendra sudah banyak menolongnya. Pak Trisno muncul, berjalan ke arah mereka berdua.

”Aku duluan!” ujar Shelomita. Kendra agak menyesal setelah mendengar omongan Elara. Dia berharap bisa bertemu cowok yang diceritain Seno tapi orang itu tidak muncul.

¯¯¯

”Apa?! Oma udah tahu?” teriak Shelomita dalam perjalanan. Pak Trisno tetap konsentrasi menyetir sembari mengangguk.

”Sekarang dia dimana?” tanya Shelomita.

”Di kantor, Non!Mas Denis ingin membicarakan sesuatu yang penting pada Ibu!” kata Pak Trisno. Shelomita mengernyitkan dahi, sepenting apa sesuatu itu?

”Jadi kau datang ke sini untuk minta izin padaku?Setelah bertahun-tahun kau pergi dari rumah, hah?” tanya Oma di ruang kerjanya, Denis duduk di hadapannya.

”Aku berencana akan menikahinya pertengahan tahun ini..”kata Denis. Oma tersenyum kecil.

”Kau ini..berani-beraninya datang ke sini untuk membicarakan hal ini..Kau fikir aku ini siapa?” omel Oma.

”Karena aku masih menganggap Oma sebagai Oma aku, makanya aku datang untuk minta restu..” jawab Denis.

Shelomita hampir menabrak Inez setelah keluar dari lift kantor.

”Hei!Ada apa sih?” tanya Inez.

”Kakak aku menemui Oma di ruang kerjanya..” sahut Shelomita.

”Terus?”.

”Aku fikir mereka akan bertengkar!” jawab Shelomita geregetan sembari meninggalkan Inez.

”Aku sungguh malu karna tidak bisa mendidikmu..Surprise apalagi yang akan kau berikan padaku?Mempertemukan aku dengan perempuan itu?” tanya Oma, pintu terbuka, Shelomita muncul dibelakangnya ada Inez.

”Apa kau mau bilang kalau perempuan itu adalah personal assistant-ku?” kata Oma membuat semua orang diruangan itu kaget, apalagi Shelomita yang belum tahu masalah sebenarnya. Shelomita memandang Inez dengan tatapan ’ceritakan padaku apa yang sedang terjadi’.

”Saya minta maaf..Saya tidak menceritakan ini sebelumnya..” kata Inez.

”Ada yang mau bilang apa yang sedang terjadi?” tanya Shelomita.

”Lebih baik kau keluar!Ini bukan urusan seseorang yang masih berusia tujuh belas tahun.”kata Oma. Dengan berat hati Shelomita keluar, ia tidak mau memancing di air keruh, Pak Trisno sudah ada di luar.

”Sudah aku duga hal ini akan bocor..” gumam Denis.

”Aku curiga setiap aku ingin bertemu laki-laki yang yang kau bilang pacarmu, kau selalu mengelak..Akhirnya Aku tahu kalau kau menjalin hubungan dengan cucu laki-laki ku ini..” papar Oma.

”Sekarang Oma udah tahu semuanya..” kata Denis.

”Kau benar-benar merepotkan..bertahun-tahun kau pergi, sekarang kau meminta restu untuk menikahi orang kepercayaanku, lelucon macam apa ini?” lanjut Oma lagi.

”Aku sudah merendahkan diri untuk datang ke sini..Karena aku masih menghormati Oma..” kata Denis.

”Apa yang membuatmu yakin aku akan merestuimu?” tanya Oma.

”Karena Oma adalah Oma!” jawab Denis singkat. Mata Oma mulai berkabut, semarah-marahnya dia pada cucunya tidak akan mengurangi kasih sayangnya padanya. Belum pernah ia mendengar jawaban yang begitu memuaskan.

”Dengan satu syarat bahwa kau dan adikmu kembali ke rumah..” jawab Oma pelan, menyerah. Sebenarnya hal ini tidak perlu diperpanjang, ia hanya ingin berkumpul kembali dengan dua cucunya. Denis memeluk Oma. Inez tersenyum lebar melihatnya, hatinya lega. Oma memberi isyarat pada Inez untuk memeluknya. Shelomita melihat semuanya dari celah pintu. Ia baru saja bertemu dengan Denis, tapi kakaknya itu akan segera menikah. Sekarang ia kembali sendiri.

Denis dan Inez mencari Shelomita, Pak Trisno mengatakan bahwa Shelomita pergi. Denis akan mencarinya nanti.

Shelomita berjalan menyusuri lobi apartemen masih dengan seragam sekolah. Ia berpapasan dengan Sarah yang akan pulang.

Keduanya tiba di tenda pedagang mie di pinggir jalan yang ramai dengan kendaraan dengan sinar lampu warna-warni.

”Ini tempat apa?” tanya Shelomita. Sarah mengajaknya masuk tenda dan duduk di salah satu kursi, Shelomita mengikutinya.

”Pak, mie gorengnya dua ya!” sahut Sarah.

”Aku biasa makan di sini, enak loh!” kata Sarah seraya bergumam terima kasih setelah dua gelas es teh manis diantarkan di mejanya. Shelomita mengangguk-ngangguk sembari menyapu isi tenda yang mulai ramai oleh pembeli. Ia belum pernah makan i tempat seperti ini sebelumnya.

”Jadi..kenapa kamu baru pulang, masih pake seragam lagi!” ujar Sarah.

”Aku baru dari kantor Oma aku!” jawab Shelomita. Dua orang orang anak-laki-laki belasan tahun muncul dan duduk di samping mereka di meja yang sama. Shelomita agak terkejut melihat Kendra dan Tristan. Kendra dan Shelomita melemparkan pandangan ’Kenapa ada di sini?’.

”ELO!!” Teriak Sarah dan Tristan bersamaan. Beberapa pengunjung menatap mereka. Ternyata mereka sudah saling kenal.

”Berani-beraninya elo muncul di depan gue setelah elo hampir nabrak gue!” kata Sarah emosi.

”Yang nyebrang sembarangan siapa?Enak aja nyalahin gue!” balas Tristan tak mau kalah.

”Udah deh, Tan..malu diliatin orang..” sela Kendra. Shelomita menenangkan Sarah yang hampir memukul Tristan dengan toples acar.

”Ini tuh cewek yang marah-marahin gue waktu itu, yang gue ceritain ! ”bela Tristan. Pesanan mereka dateng. Tristan dan Sarah yang duduk bersebelahan sikut-sikutan. Kendra dan Shelomita saling diam.

”Aku...” Shelomita dan Kendra bicara bersamaan membuat dua makhluk di depan mereka memandang mereka bingung.

”Udah deh..gak usah gengsi-gengsian..!” ledek Tristan, membuat Sarah tidak mengerti.

Kendra mengantarkan Shelomita sampai apartemen. Kendra tahu Shelomita sedang ada masalah, ia tahu karna Shelomita masih mengenakan seragam sekolah. Kendra duduk di sofa ruang tamu, Shelomita meletakkan secangkir teh di meja. Kendra menuggu Shelomita bicara, ia tahu Shelomita tidak bisa dipaksa.

”Aku minta maaf karena punya pikiran buruk soal kecelakaan itu..” kata Shelomita.

”Aku juga minta maaf kalau sikap aku bikin kamu gak nyaman.” tambah Kendra. Air mata Shelomita meleleh. Ia mengusapnya. Kendra duduk di sampingnya. Shelomita tahu ia tidak bisa menyimpan rahasia hidupnya selamanya di depan Kendra.

”Kamu tahu kalau selama ini aku tersiksa?” tanya Shelomita pelan.

”Kamu gak pernah ngebiarin orang lain tahu..” jawab Kendra. Shelomita  yakin Kendra memahaminya. Sekarang Shelomita benar-benar tidak bisa menahan air matanya lagi, ia sudah sangat terluka. Kendra menyandarkan kepala Shelomita di bahunya membiarkan gadis itu menceritakan segalanya. Disela isak tangis Shelomita menceritakan hidupnya, mulai dari kecelakaan orangtuanya, bekas luka di kakinya yang membatasi aktivitasnya di sekolah, yang membuatnya tidak bisa berenang lagi, tidak bisa mengikuti pelajaran olah raga seperti siswa yang lain, persahabatannya dengan Phoebe, ejekan Elara, pertemuannya dengan Denis sampai pernikahan Kakaknya yang baru ia dengar tadi siang. Kendra mendegarkannya. Sekarang Kendra tahu siapa cowok yang dimaksud Seno dan Elara. Berikut jawaban perkiraan Seno yang merasa Denis familiar, itu karena Denis mirip dengan Shelomita.

”Kenapa kamu nyeritain ini ke aku?” tanya Kendra. Shelomita masih bersandar dibahunya.

”Karna kamu berbeda!” sahut Shelomita. Kendra senang mendengar jawaban itu.

¯¯¯

Shelomita duduk di sofa pagi itu bersama Denis dan Inez. Shelomita membuang muka. Ia masih kesal.

”Udahan dong marahnya..” bujuk Denis.

”Kita kan baru ketemu, Kak Denis sekarang mau nikah, aku sendiri lagi..” rajuk Shelomita. Inez duduk di sampingnya.

”Tapi kan masih bisa ketemu, Ta..” katanya.

”Tega banget kamu macarin Kakakku gak bilang-bilang!” omel Shelomita.

”Itu aku yang nyuruh, biar surprise!” imbuh Denis sembari tersenyum lebar, Shelomita cemberut.

”Bukan kayak gini caranya, Kak.. ”rajuk Shelomita lagi. Denis memeluk Shelomita.

”Aku gak akan pergi lagi kok.. ” bujuk Denis. Inez mengacak rambut Shelomita.

“Lagian kan ada Kendra!” ledek Inez. Shelomita menatapnya bingung. Kedua makhluk di kanan kirinya tersenyum jahil.

”Kita tahu, Kendra nganterin kamu tadi malam..iya kan?” ejek Denis. Inez tersenyum penuh kemenangan.

”Curang!Kalian punya tameng!” sahut Shelomita kembali cemberut. Inez dan Denis tertawa melihatnya.


¯¯¯
Ponsel Shelomita berdering. Shelomita berlari menuju kamar dan segera menjawabnya.

”Ya!”.

”Ta..Novel kamu masih di aku, mau diambil sekarang nggak?” tanya Farel.

”Emang kamu dimana?” tanya Shelomita.

”Aku di kolam renang Pemuda..tadi aku mau ke apartemen kamu tapi udah janji mau ke sini, kamu bisa ke sini nggak?” papar Farel.

”Ya udah deh..aku kesana!” imbuh Shelomita segera menutup telepon dan bergegas mengenakan spatu flatnya dan menyambar postman bag-nya.

Kolam renang Pemuda nampak sepi Cuma sebuah mobil sedan silver terparkir di halamannya. Shelomita masuk, tidak ada hingar bingar suara orang yang biasanya terdengar. Shelomita berdiri tak jauh dari kolam renang sedalam dua meter itu.

Tristan sibuk berkutat di depan laptop yang tersambung dengan ponsel Kendra. Ia berusaha menyelidiki identitas penelpon dengan privat number yang sering menelepon Kendra yang juga hampir mencelakakan Shelomita. Kendra memandang layar laptop dengan serius.

”Dapet, Ken!” sahut Tristan senang.

Tidak ada seorangpun. Shelomita tidak melihat seorangpun di sana. Ia menyusuri area kolam renang itu sampai di depan deretan loker berwarna coklat.

”Maaf ya kamu jadi ke sini!” ujar seseorang. Shelomita terlonjak dan mendapati Farel sudah berdiri di belakangnya dengan penampilan seperti biasa, kemeja lengan pendek, celana khaki, dan vest rajutan, kacamata dan rambut rapi. Shelomita agak lega melihatnya.

”Aku fikir tadi aku salah masuk kolam renang karena sepi..” kata Shelomita. Farel tersenyum, Shelomita merasa ada yang salah dengan senyumnya.

Kendra dan Tristan menekan bel apartemen Shelomita, ponselnya tidak aktif. Sarah yang muncul dengan membawa seragam sekolah yang sudah bersih menghampiri mereka.

”Tadi gue liat, Shelomita pergi, katanya mau ke kolam renang!” katanya. Kendra tak sengaja melihat seragam di tangan Sarah yang familiar karena seragam itu sama dengan seragam sekolahnya.

”Itu seragam siapa?” tanya Kendra. Tristan memandang benci Sarah, rupanya mereka masih bermusuhan.

”Seragam Ariel ini yang disebelah Shelomita!” jawab Sarah. Tristan dan Kendra saling berpandangan.

”Apa pikitran lo sama kayak gue?” tanya Kendra tegang. Tristan mengangguk pasrah. Sepertinya sekarang mereka tahu kalau Farel dan Ariel adalah orang yang sama. Keduanya langsung melesat meninggalkan Sarah yang bingung.

”Kalian mau kemana?” tanya Sarah.

”Shelomita dalam bahaya!” teriak Kendra.

”IKUT!”.

Ketiganya berpencar mencari Shelomita di kolam renang yang ramai oleh anak-anak. Tapi tidak ada. Mereka mencari lagi di gelanggang olahraga yang lain, tapi nihil. Kendra berfikir keras.

Itu bukan senyum Farel, Shelomita sekarang merasa takut. Ia berdiri terpaku dihadapan Farel.

”Ada apa?” tanya Farel. Shelomita tersenyum kecut.

”Mana novel aku?” tanya Shelomita, ia merasa ada yang tidak beres. Farel kembali tersenyum kemudian melepas kaca matanya. Shelomita merasa familiar dengan sosok tanpa kacamata itu.

”Kamu ingat David kan?Siswa yang tewas kecelakaan dua tahun lalu?”tanya Farel. Shelomita tidak bisa menggerakkan kakinya.

”Apa hubungannnya sama aku?” tanya Shelomita.

”Dia kecelakaan karna Kendra, Kendra menyalip motor David hingga David hilang keseimbangan dan menabrak tiang rambu lalu lintas dan tewas seketika..” papar Farel.

”Dia ingin balas dendam pada Kendra melalui aku..”pikir Shelomita dalam hati. Ia mundur selangkah.

”Tapi itu kecelakaan bukan karna Kendra, ada masalah sama rem motor David!” kata Shelomita.

”Rupanya kamu cukup tahu juga..Tapi ini karna Kendra!David sepupu aku, aku anggap adik sendiri, tapi Kendra membuatnya pergi selamanya..Kendra pasti nggak mau disaingi David di klub sepak bola!” papar Farel lagi.

”Kendra bukan orang seperti itu!” bela Shelomita. Farel tersenyum.

”Awalnya aku gak tahu..Tapi pas aku tahu Kendra suka dengan kamu, aku berniat membuatnya kehilangan orang terpenting dalam hidupnya..Yaitu kamu!” kata Farel. Shelomita kembali mundur, tapi Farel mendekatinya hanya beberapa langkah darinya.

”Jangan-jangan kamu yang coba nabrak aku di jalan raya tempo hari?” tebak Shelomita. Farel tertawa, ia mengacak rambutnya di depan Shelomita. Sekarang Shelomita berhadapan dengan orang lain, bukan Farel yang selalu tersenyum hangat, tapi sosok penuh dendam yang tinggal di samping apartemennya. Shelomita menutup mulutnya tak percaya.

”Jadi kamu..”.

”Iya..Aku nyamar jadi siswa Glory dan coba deketin kamu, berhasil..Aku ngerusak mesin lift waktu itu..dan membuat kamu tersiksa..Tapi Kendra datang menolong..” terang Ariel.

Sekarang Shelomita tahu kenapa tidak ada bekas pengrusakan kunci di pintu apartemennya melainkan di beranda, itu karna penyusup itu tetangganya sendiri, ia masuk lewat beranda. Shelomita ketakutan setengah mati, orang ini hampir membuatnya mati di jalan raya, sekarang ia ada di tempat sepi dimana tak seorangpun tahu dia ada di sini. Shelomita mundur beberapa langkah.

”David pasti gak suka sama perbuatan kamu ini..” kata Shelomita mencoba mempengaruhi Ariel. Ariel tersenyum.

”Tapi aku kehilangan orang terdekat aku karna Kendra!” kata Ariel. Shelomita segera berbalik untuk lari lari tapi Ariel menangkap tangannya.

”Gimana kalau tangan ini nggak bisa main piano lagi?” katanya, Shelomita ketakutan mencoba melepaskan genggaman Ariel namun tenaganya tak bisa melawan tenaga orang di depannya.

”Lepasin aku!” ratap Shelomita, ia benar-benar ketakutan.

”David kehilangan nyawanya tapi kamu hanya akan kehilangan tangan, bukannnya itu lebih baik?” tanya Ariel yang menyeret Shelomita ke pinggir kolam renang. Shelomita menatap air yang kebiru-biruan, sepertinya Ariel tahu Shelomita sudah tidak bisa berenang. Shelomita menangis. Ariel mendorongnya ke kolam renang. Shelomita berteriak minta tolong dari air yang akan membuatnya tenggelam. Ariel tersenyum senang. Shelomita meronta-ronta di kedalaman dua meter cukup lama.

”SHELOMITA!” teriak Kendra. Ariel berubah pucat melihat kedatangan Kendra bersama Tristan dan Sarah. Kendra melompat ke air dimana Shelomita sudah tidak bergerak.

”Ken, lo belom lancar bere..nang..” cegah Tristan menyesal karna Kendra sudah masuk ke kolam renang. Ariel berusaha kabur tapi Tristan melayangkan bogem mentah ke arahnya membuat Ariel tersungkur. Sarah membantu Kendra mengangkat Shelomita ke tepi kolam. Bibir Ariel mengeluarkan darah. Tristan kembali memukulnya. Kendra menekan perut Shelomita, berusaha memberikan pertolongan. Tristan menyeret Ariel mendekat ke arah Kendra. Shelomita tidak bergerak.

”Sekarang lo tahu gimana rasanya kehilangan..” kata Ariel, Tristan kembali memukulnya.

”Bangun, Ta..jangan mati dulu!” kata Sarah cemas. Tristan ikut cemas karna Shelomita tak kunjung bergerak.

”Kasih nafas buatan, Ken!” teriak Tristan. Kendra nampak berfikir.

”Bahkan lo gak bisa nolongin dia kali ini!” ujar Ariel. Kendra melakukannya beberapa kali. Tapi tidak ada respon. Kendra menatap Ariel benci, menghampirinya dan memberikan pukulan di pelipisnya, membuat Ariel kembali tersungkur.

”Gue gak main-main sama perkataan gue sebelumnya!Gue abisin lo kalau dia sampe mati!” teriak Kendra penuh emosi. Kendra menghampiri Shelomita yang pucat.

”Aku mohon bangun, Ta..” kata Kendra lirih. Shelomita terbatuk memuntahkan air. Kendra memeluknya kemudian mengangkatnya.

”Gue lupa kalau lo akan ngelakuin apa aja untuk nolong dia!” kata Ariel, wajahnya babak belur. Kendra berhenti tanpa menoleh.

”Gue rasa David bakalan sedih di alam sana ngeliat kelakuan lo kali ini..” balas Kendra.

¯¯¯

Ariel dibawa ke kantor polisi, setelah sebelumnya dipukuli oleh Oma Eliza dengan tas tangannya. Inez dan Denis membawa bukti laporan dari rumah sakit tentang kecelakaan David yang memang murni kecelakaan karna masalah teknis motornya bukan karena Kendra.

Shelomita terbaring di tempat tidurnya. Sarah membawakannya teh. Kendra duduk di kursi di samping Shelomita. Tristan di kantor polisi bersama Oma, Denis dan Inez.

”Aku gak tahu lagi harus bilang apa sama kamu..makasih ya!” kata Shelomita pelan. Kendra memegangi telapak tangan Shelomita.

”Makasih ya, Sar!” tambah Shelomita, Sarah mengangguk terharu. Ia lebih terharu lagi ketika melihat Kendra terjun ke air padahal ia belum lancar berenang, Tristan menceritakannya. Tapi karna niat tulus menolong Shelomita, Kendra berhasil menyelamatkan jiwa Shelomita. Sarah keluar kamar. Pakaian Kendra masih agak basah.

Shelomita bangun dan memeluk anak laki-laki di depannya.

”Makasih, Ken!” ucapnya lagi.

¯¯¯

Hari ini pengumuman kelulusan SMU Glory. Setelah menerima amplop masing-masing. Semua siswa keluar kelas dan menuju lapangan merayakan kelulusan mereka.

”Hari ini hari terbaik kita semua, kalian semua lulus!” kata Bu Inggrid menyampaikan pidatonya yang disambut ramai oleh seluruh siswa. Kendra dan Shelomita berdiri berdampingan di tengah dua ratusan siswa tingkat tiga.

”Sekarang saya akan memanggil siswa dengan nilai tertinggi di sini..” lanjut Bu Inggrid membuat penasaran para siswa.

”Aluna Shelomita!” teriaknya. Shelomita terlonjak mendengarnya dan tak sadar memeluk Kendra yang berdiri di sampingnya. Suasana kembali ramai memberikan tepuk tangan untuk Shelomita dan ledekan iseng untuk mereka berdua.

”Terima kasih semuanya..Thank’s God!Aku gak tahu harus bilang apa..Tapi hari ini hari terbaik aku ada di sekolah ini..Terima kasih untuk semuanya, semua warga SMU Glory..Aku menyayangi kalian!” papar Shelomita senang. Para siswa kembali bertepuk tangan. Bu Inggrid menyerahkan sebuah trofi secara simbolis pada Shelomita. Tepuk tangan kembali terdengar.

¯¯¯

Shelomita tiba di sekolah dengan senang bersama dengan Sarah, hari ini festival seni SMU Glory. Mesti tidak ikut dalam jajaran pengisi acara, Shelomita tetap senang. Ia sibuk mencari Kendra. Beberapa siswa mengucapkan selamat pada Shelomita.

”Eewww..Ada kuman di sini!” ujar Elara yang heboh dengan kostum dress berbulu pink-nya ia jadi mirip ayam betina.

”Tolong jangan kurang ajar ya sama temen aku!” balas Shelomita. Elara menyemprotkan parfumnya di sekeliling Sarah yang segera terbatuk.

”Heh!Lo pikir gue apaan disemprot gini!” omel Sarah. Elara berlega ria setelah menghirup wangi parfumnya.

”Gue denger lo hampir mati ya, Shel?” tanya Elara basa-basi. Shelomita menarik tangan Sarah meninggalkan Elara. Sarah sempat menarik bulu yang menjadi headger Elara yang dibalas tatapan galak dari Elara.

Karena ini festival seni akhir tahun, suasana sekolah ramai karena siswa tingkat satu menggelar bazar yang menjual macam-macam makanan dan pernak-pernik. Suasana di hall kesenian tak kalah ramai. Panita Festival seni menggelar berbagai acara mulai drama, band, paduan suara yang menyanyikan mars Glory, sampai pagelaran alat musik Indonesia, ada musik angklung yang dibawakan siswa-siswi tingkat dua, gambang kromong, klub dance Glory pun ikut menyumbang tarian Saman, ada mini orkestra yang dipimpin Guru Musik Pak Jendra, Rachel yang pernah menjuarai kontes menyanyi ikut berpartisipasi menyanyikan sebuah lagu dan Lovina didaulat memainkan piano diakhir acara. Sayangnya Elara yang berniat untuk menyanyi, keinginannya tak dikabulkan oleh panitia mengingat ia pernah mengacaukan acara sekolah karena suaranya. Pintu masuk hall kesenian dihias kertas mengkilap warna-warni, keadaan ramai sekali. Panitia mengatur tempat duduk berbentuk tribun agar penonton yang dibelakang bisa leluasa melihat ke arah panggung yang cukup besar. Shelomita dan Sarah duduk di bagian belakang setelah tidak menemukan Kendra.

”Hei!Apa orang itu akan datang?” tanya Sarah. Shelomita mengerti siapa yang dimaksud Sarah.

”Kalau dia pasti lagi wisata kuliner di bazar!” sahut Shelomita.

Setelah mencicipi makanan di bazar Shelomita kembali ke hall bersama Sarah. Kendra dan Tristan muncul dari koridor toilet.

”Shel!” panggil Kendra. Sarah yang melihat Tristan bersiap-siap melancarkan serangan. Tristan ditahan Kendra sebelum ia kembali beradu pendapat dengan Sarah.

”Mau balik lagi ke hall?” tanya Kendra.

”Sebentar lagi selesai, kamu mau ke sana juga?” sahut Shelomita. Kendra tersenyum. Sarah dan Tristan saling melotot, keduanya masih belum berbaikan.

”Aku sama anak-anak mau ke pantai sore ini, kamu gabung ya?” ajak Kendra. Shelomita tahu siapa yang dimaksud anak-anak oleh Kendra, pasti teman-teman satu klub sepak bola.

”Boleh ajak Sarah kan?” tanya Shelomita.

”Kayaknya Tristan butuh orang untuk beradu argumen lagi!” gurau Kendra. Renata, salah satu panitia Festival lewat di depan mereka dengan wajah cemas.

”Lo kenapa,Ren?” tanya Kendra membuat Renata menhentikan langkahnya dan menghampiri mereka berempat.

”Lovina jatuh di belakang panggung, tangannya keseleo, padahal dia tampil bentar lagi!Gue lagi bingung nih nyari gantinya!” papar Renata agak panik. Kendra dan Tristan menatap Shelomita, Sarah dan Renata agak bingung melihatnya. Shelomita melemparkan pandangan ’Kalian gak berniat nyuruh aku gantiin Lovina main piano kan?’.

”Kalo seseorang bersedia untuk gantiin sih gak papa..” ujar Kendra tanpa meminta Shelomita. Renata melirik Shelomita.

”Lo bisa, Shel?” tanyanya kurang yakin. Shelomita menatap kedua anak- laki-laki di depannya dengan pasrah.

”Tapi aku udah lama gak main piano!” elak Shelomita saat Renata membawanya ke belakang panggung bersama Kendra, Tristan dan Sarah.
”Kamu bisa!Percaya sama aku!” sahut Kendra menenangkan Shelomita sembari memegang tangan Shelomita. Shelomita menata hatinya untuk tenang, kemudian melirik Lovina yang tangan kanannya sedang dibalut perban oleh anak PMR.

”Ok..untuk acara terakhir kita sambut Aluna Shelomita!”. Suara Ami yang bertugas sebagai pembawa acara terdengar. Renata menarik Shelomita naik ke atas panggung. Beberapa penonton agak ribut karena tertera di undangan yang akan memainkan piano adalah Lovina Floris Wijaya. Bu Inggrid yang sudah diberitahu oleh panitia acara bersikap agak tenang meski ia agak khawatir. Elara menganga parah melihat Shelomita di atas panggung, ia membiarkan pizza yang sedang dimakannya jatuh.

Shelomita menganggukkan kepala dan berjalan menuju sebuah piano hitam di pinggir panggung. Lampu dimatikan dan lampu sorot menyorot Shelomita yang bersiap menekan tuts. Shelomita tidak memilki persiapan lagu. Ia teringat sewaktu Inez memperdengarkan sebuah lagu yang diciptakan oleh musisi asal korea, menurutnya lagu itu bagus. Ia mengingat lagu itu dan mulai menekan tuts. Sebuah lagu berjudul Do you know mulai mengalun di hall.

Saat cahaya yang menyilaukan
Datang di pagi hari
Aku membuka mata akan cinta dan bernyanyi
Hanya untukkmu
For you..I love you only you
Penuh dengan hati gelisah
Dengan kata-kata yang lembut
Aku melihatmu..

Tahukah kamu?
Aku tahu kau merasakannya
Kata-kata dihatimu yang bertuliskan cinta

Aku mendengarnya sekarang
Aku melihatnya sekarang
Perasaan malu itu lebih indah daripada bunga
Lihatlah aku
Genggam erat tanganku
Sungguh perasaan yang sangat bahagia
Sungguh takdir yang membutakan
Aku tersenyum karena aroma cinta..

Tepuk tangan bergemuruh di dalam hall, mereka berdiri seraya bertepuk tangan. Kertas warna-warni tumpah dari atas panggung. Bu Inggrid terharu mendengar lagu yang dibawakan Shelomita. Arya melesat ke depan dan memberikan sebuket bunga pada Shelomita. Tepuk tangan kembali terdengar.

”Akhirnya hal ini terwujud juga, Bro!” ujar Tristan senang. Sarah sudah mendengar dari Kendra tentang Shelomita yang tidak ingin memainkan piano lagi, tapi Kendra berhasil meyakinkannya. Shelomita muncul dengar kertas warna-warni di rambutnya. Renata mengucapkan terima kasih pada Shelomita yang menyelamatkan acara. Lovina tersenyum padanya dari kursi di sudut ruangan. Para panitia Festival menyalami Shelomita yang mereka tidak sangka bisa memainkan piano seindah itu. Mereka baru tahu kalau Shelomita sering menjuarai kontes piano sejak kecil dari Bu Ingrrid yang meyakinkan mereka kalau Shelomita bisa diandalkan.

”Wow..apa itu dari Arya?”ledek Kendra setelah Shelomita berhasil keluar dari kerumunan.

”Sepertinya aku berhutang banyak pada seseorang!” sahut Shelomita.

”Ama gue juga!” protes Tristan yang segera ditoyor oleh Sarah. Keduanya kembali ribut.

¯¯¯

Seno menyewa tempat rumah makan di pinggir pantai. Mereka tiba pukul empat sore dan segera bermain bola voli. Sepertinya hanya Tristan yang anak basket ikut bersama mereka. Tristan menikmati pecel ayam di rumah makan yang memang dibuat lesehan ditengah semilir angin.

”Emangnya lo gak ikut temen lo yang anak basket?Ini kan klub sepak bola!” protes Sarah. Mereka memilih makan daripada berpanas-panasan di pasir pantai.

”Eh, ada juga gue yang tanya!Ngapain lo ikut?Bukan anak sini aja juga, Lo?” balas Tristan seraya mengunyah lalapan dengan rakus.

”Ih..gue mah diajak sama Shelomita!Seenaknya aja lo!Mau ngusir gue?” omel Sarah yang melempari Tristan dengan irisan ketimun. Keduanya saling lempar-lemparan lalapan.

Seno, Kendra, Shelomita, Ray, Adi dan Raka asyik bermain voli. Cuaca sore itu cukup panas. Shelomita yang awalnya tidak mau ikut dipaksa Seno untuk ikut. Setelah cukup lama mereka berlarian ke sawung yang dipesan Seno. Tristan dan Sarah masih ribut.

”Mending lo berdua lempar-lemparan bola gih di sana!Daripada buang-buang lalapan..kan sayang!” sahut Ray yang disambut lemparan kulit jeruk oleh Tristan.

Shelomita tidak ikut bergabung, dia duduk di atas pasir, membiarkan celana pendeknya terkena pasir pantai. Kendra ikut duduk di sebelahnya. Pantas matahari mulai gelap, hampir pukul setengah enam.

”Aku gak pernah merasa setenang ini...” kata Shelomita menatap langit senja yang kemerah-merahan.

”Jadi..apakah akan ada perubahan?” tanya Kendra menatap Shelomita, rambut sebahunya bergerak tertiup angin. Kendra teringat saat pertama kali melihat Shelomita, ia pikir Shelomita menghabiskan banyak waktu untuk membuat rambutnya keriting seperti itu, ternyata itu rambut asli. Sekarang ia tahu kenapa Seno merasa familiar melihat Denis, itu karena Denis punya rambut yang sama seperti Shelomita.

”Kayaknya iya!” ujar Shelomita sembari tersenyum. Shelomita merebahkan kepalanya di bahu Kendra sembari menunggu matahari terbenam.

”Gue bingung sama mereka..Sebenernya mereka pacaran gak sih?” tanya Ray pada Tristan.

”Dibilang pacaran mereka gak pacaran, dibilang gak pacaran mereka kayak pacaran..Gue juga bingung!” sahut Tristan yang kembali ditoyor Sarah.

”Makanya jangan sok!” omel Sarah. Tristan menatapnya sebal sambil mengusap-ngusap kepalanya.

¯¯¯

Shelomita membaca surat dari Phoebe yang baru ia terima.

Aku sungguh minta maaf sama kamu..
Gak sepantesnya aku marah sama kamu..
Aku tahu aku udah egois..
Aku gak seharusnya ngerusak persahabatan kita jadi seperti ini..
Aku pergi ke London meneruskan cita-citaku untuk jadi dokter bedah..
Aku harap kamu bisa meraih cita-cita kamu..
Oh, ya..terima ksih udah nolongin aku sewaktu aku mau dijahatin preman waktu itu
Aku tahu pas ngeliat kamu.
Mungkin kamu masih berfikir aku masih marah..
Tapi aku udah nerima itu semua..
Seseorang menjelaskan semuanya sama aku..
Sekali lagi terima kasih, Ta...

Phoebe...

Hari ini pesta pernikahan pasangan berbahagia Denis dan Inez yang diselenggarakan di sebuah gedung di pinggir pantai tepatnya di Marina Beach. Para undangan mulai berdatangan, mulai dari tamu yang diundang kedua mempelai, rekan-rekan Oma sampai beberapa teman Shelomita. Konsep pernikahan yang serba putih terlihat indah dan elegan. Hampir semuanya diatur oleh Inez. Sepertinya dia memang yang terbaik untuk Denis. Shelomita yang mengenakan gaun putih yang didesain oleh Inez menatap Denis dan Inez yang sedang menyambut tamu dari kejauhan. Penata rias membuat rambut Shelomita menjadi cepolan unik karena rambutnya yang agak keriting, ia juga menambahnya dengan korsase bunga kecil warna putih. Shelomita kembali sendiri.

”Aku fikir semua tamu menikmati pestanya!” sahut seseorang. Shelomita menoleh dan mendapatkan Kendra yang baru datang berpenampilan seperti biasanya, Kemeja putih, jeans dan jas hitam.

Keduanya memilih mengasingkan diri di pinggir pantai. Angin sedikit menerbangkan gaun selutut milik Shelomita.

”Aku fikir kamu akan datang dengan rok mini!” ledek Kendra. Shelomita terkekeh.

”Oma memaksaku mengenakan baju ini!” balas Shelomita.

”Lebih bagus daripada rok mini.” kata Kendra.

”Kamu muji bajunya atau aku?” tanya Shelomita agak merajuk. Kendra mengelus rambut Shelomita.

Oma mencari Shelomita ditengah kerumunan para tamu. Ia menanyakan Sarah, tapi gadis itu tidak tahu.

”Paling lagi sama Kendra..Tenang aja..” kata Denis yang disusul cengiran Inez.

”Bocah itu lagi..” gumam Oma.

”Apa rencana kamu selanjutnya?” tanya Kendra. Shelomita teringat ia harus mengatakan sesuatu pada Kendra. Ia diam sebentar, Kendra menunggunya untuk bicara.

”Aku akan pergi ke New York!” kata Shelomita setelah menguatkan hatinya. Kendra menatapnya tak percaya.

”Kamu becanda kan?” tanyanya datar. Shelomita menggeleng. Kendra membuang pandangannya ke lepas pantai. Ia baru saja merasa senang dengan keadaannya sekarang.

”Aku lulus ujian di fakultas musik Universitas Negeri New York..” kata Shelomita.

’Tapi itu butuh waktu paling nggak empat tahun, Ta!Aku gak bisa nunggu selama itu!” protes Kendra. Shelomita menatap anak laki-laki itu. Sekarang ia tahu bahwa seseorang menginginkannya.

”Kita berdua punya cita-cita kan?” ujar Shelomita.

”Tapi gak mesti ke New York!” tambah Kendra. Shelomita sedih namun ia harus kuat. Ia tahu ia harus mengatakannya pada Kendra.

”Kamu udah ngeyakinin aku untuk kembali kayak dulu, sekarang waktunya, Ken!” imbuh Shelomita. Kendra menggeleng lemah, selama delapan belas tahun ia hidup, ia belum pernah bertemu dengan seseorang yang sanggup membuatnya berusaha, seseorang yang menjadi alasan kenapa ia bisa berenang tiba-tiba. Kendra menghembuskan nafas perlahan, ia menguatkan hatinya.

”Kalo kamu nggak keberatan untuk nunggu, aku akan kembali lagi ke sini..” ucap Shelomita pelan seraya beralik untuk meninggalakan Kendra. Kendra menahan Shelomita dan menariknya ke dalam pelukannya.

”Kayaknya kita menganggu seseorang deh!” gumam Tristan menghentikan langkahnya, Sarah hampir menabrak punggungnya. Sarah mengikuti pandangan Tristan.

”Bukan seseorang tapi dua orang..” ralat Sarah. Tristan mengangguk dengan terpaksa.

”Gimana kalo kita juga pacaran aja!” ajak Tristan. Sarah melotot.

”Becanda kali!” teriak Tristan seraya lari menghindari lemparan sepatu Sarah.

¯¯¯

Empat tahun kemudian...

Kendra merapikan dasinya, berkat usaha kerasnya ia menyelesaikan studi teknik pembangunan selama tiga setengah tahun. Sekarang ia bekerja di sebuah kantor developer terkemuka di Jakarta. Ia lulus bersamaan dengan Tristan, hanya saja Tristan bekerja di kantor Ayahnya.

”Bagaimana perasaan Anda sekarang?” tanya seorang pembawa acara televisi pada seorang wanita berambut panjang bergelombang di sampingnya. Kamera menyorot wajah wanita itu.

”Saya sangat senang bisa kembali ke Indonesia!” jawabnya tegas sembari tersenyum.

”Bisa dibilang Anda ikut mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional melalui prestasi Anda dibidang musik dan seni desain..Bisa ceritakan apa yang mendorong Anda hingga bisa menjadi seperti sekarang ini?” tanya presenter itu.

”Saya tidak begitu paham apa penyebabnya..Hanya saja, keyakinan seseorang membuat saya lebih yakin pada diri saya..”.

”Jadi dia yang waktu itu menangin kontes piano di Paris?” tanya pria setengah baya yang ikut berkerumun di depan televisi di sebuah ruang kantor.

”Bukannya dia pernah digosipin sama aktor Indonesia yang kuliah di New York?” gumam teman wanitanya yang terlalu sering menonton tayangan gosip selebritis.

”Hebat ya..selain menjadi pianis dia juga mendirikan fashion design di New York..” puji seorang temannya lagi.

“Belakangan ini ada berita soal kedekatan Anda dengan seorang aktor asal Indonesia, bagaimana pendapat Anda?”. Wanita kembali tersenyum, terlihat anggun dengan setelan blazer krem-nya.

”Kami berteman baik sesama warga Indonesia..”jawabnya singkat.

Sarah yang baru mengurus surat kelulusannya dari fakultas farmasi tak sengaja melihat layar televisi yang menayangkan wawancara dengan seorang pianis sekaligus designer dari Indonesia.

”Shelomita?!”.

”Melihat kesuksesan Anda sekarang tentu kami semua ingin tahu bagaimana kehidupan pribadi Anda..”.

”Maksudnya dengan seseorang begitu?” tanya wanita itu agak ragu. Presenter itu mengangguk pelan sembari tersenyum kecil.

”Saya telah berjanji pada seseorang untuk kembali lagi ke sini!” jawabnya tegas. Presenter itu tertawa kecil.

”Rupanya Anda suka dengan jawaban singkat ya..” selorohnya membuat wanita itu ikut tertawa.

Kendra membuka laci-laci mejanya mencari sesuatu, tapi ia tak menemukannya. Ia keluar ruangan dan berbicara sebentar dengan rekan kerjanya yang baru saja membubarkan diri dari depan televisi.

”Laporan tahun ini belum dikasih sama Pak Kito, Ken..” kata rekan kerjanya setelah Kendra menanyakan soal laporan tender tahun ini. Kendra nampak berfikir sebentar.

”Ini tahun berapa?” tanyanya konyol, beberapa rekan kerjanya yang ada didekatnya tertawa kecil mendengar pertanyaannya.

”2009!”jawab temannya agak bingung.

”Kamu lupa kalo aku akan pulang tahun ini?”tanya seseorang. Kendra berbalik dan mendapatkan seorang wanita berambut panjang tersenyum padanya. Beberapa rekan kerjanya ikut memandang wanita itu.

”Bukannya dia yang tadi di televisi?” gumam beberapa orang.

Kendra berdiri terpaku di tempatnya, tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dia benar-benar datang. Shelomita kembali tersenyum tak menyangka seseorang didepannya ternyata anak laki-laki yang empat tahun lalu menghiasi masa sekolahnya.

”Kamu beneran dateng?’ gumamnya tak percaya.

”Aku udah bilang kalo kamu mau nunggu, aku akan kembali lagi ke sini..”.

Kendra memberikan helm pada Shelomita yang menatapnya sembari tersenyum. Shelomita tambah yakin kalau Kendra memang mengerti dirinya.

”Kamu gak keberatan kan naik motor sama aku?” tanya Kendra. Shelomita mengenakan helmnya sembari tersenyum lebar. Mereka berkendera ditengah keramaian lalu lintas, Shelomita minta diantar ke suatu tempat, tempat ia pernah membuat janji kecil.

Keduanya menyusuri jalan setapak menuju sebuah bangunan yang dipenuhi anak kecil. Shelomita tidak lupa dengan panti asuhan, tempat yang membuatnya sadar telah melakukan keegoisan. Empat tahun lalu seorang anak laki-laki membawanya ke tempat ini berusaha meyakinkan dirinya.

Shelomita dan Kendra menemui kepala panti yang menyambut mereka dengan hangat. Shelomita pergi ke ruang bermain dimana ada sebuah piano yang mesti ia mainkan untuk melanjutkan permainannya yang dulu sempat terhenti.

”Apa kakak dulu pernah ke sini?” tanya seorang gadis kecil. Shelomita masih mengenalinya sebagai seorang gadis kecil yang dulu memintanya untuk bermain piano.

When I see the sky after raining..
I found many colour painted in the sky..
It’s so beautifull..
Amazing for me..
My mother said it’s the rainbow..
The rainbow in the sky..
What’s a  beautifull of you..
I want to over the rainbow..
Over the rainbow..

The dreams over the rainbow..
I believe with my live
I can be the star
Like the Rainbow..
Over the rainbow…
You look the rainbow…

Anak-anak bertepuk tangan, Shelomita sudah menepati janjinya untuk menyelesaikan lagu itu. Sekarang ia lega, ketakutan itu telah hilang berkat seseorang.
Tristan keluar dari kantor Kendra, ia tidak bisa menghubungi ponsel sahabatnya itu. Seorang gadis berjalan ke arahnya dan ia mengenali gadis itu.

”Heh!Ngapain lo di sini?Tempat lo di apotek!” hardik Tristan.

”Gue mau bilangin Kendra kalo Shelomita udah pulang!” balas Sarah tak mau kalah.

”Dia udah tahu kali..Mereka lagi keluar..Lo yang telat!” imbuh Tristan. Sarah tersenyum sinis. Dia mendapat beasiswa di fakultas farmasi. Oma Eliza merekomendasikannya bukan sebagai ucapan terima kasih tapi karena kamauan keras Sarah untuk belajar.

”Gue denger lo jadi arsitek..Arsitek apa?Rumah permen?” ejek Sarah, Tristan melotot.

”Arsitek gedung!Terus elo?Ngeracik obat apa racun?Yang ada elo bikin sakit orang bukan nyembuhin !”balas Tristan tak mau kalah. Sarah bersiap melemparinya dengan sepatu tapi Tristan keburu lari.

Shelomita dan Kendra menyusuri pasir pantai. Keduanya bertelanjang kaki, membiarkan air laut membasahi kaki mereka. Rambut Shelomita ditiup angin.

”Aku denger kamu juga belajar desain..” kata Kendra.

”Aku diam-diam belajar desain disela studiku di Universitas Negeri New York..Saat ini aku lagi berusaha memperkenalkan desainku..Inez membantuku..Gimana dengan kamu?Aku pikir aku akan menemuimu di lapangan bola!” seloroh Shelomita sembari tersenyum. Kendra senang melihat senyuman itu.

”Aku main bola untuk ngelatih syaraf motorikku aja..” jawab Kendra.

”Aku dengar kamu direkomendasiin untuk ujian masuk timnas..” lanjut Shelomita.

”Kalo aku diterima, itu artinya aku akan sering bepergian, padahal aku harus menunggu..”keluh Kendra membuat Shelomita tertawa kecil.

”Hoo..jadi kamu udah nunggu berapa lama?” ledek Shelomita.

”Entahlah..tapi orang itu benar-benar membuatku pegal pegal..”rajuk Kendra dengan raut lucu. Kendra menggenggam tangan Shelomita, sesuatu yang dulu ia lakukan untuk menenangkan hati seorang teman sekolahnya.

”Aku nggak mau nunggu lagi...” gumam Kendra. Shelomita menatapnya jahil.

’Padahal aku baru mau bilang kalo aku ingin pergi ke Seefeld!” ujarnya membuat Kendra sebal sesaat.

”Pemandangan di sana indah banget!” seloroh Shelomita lagi.
¯¯¯

Kendra bertandang ke rumah Oma Eliza, Shelomita sekarang tinggal di sana. Kendra disambut Denis dan Inez bersama anak perempuan mereka, Sherena yang baru berumur tiga tahun. Sherena menatap Kendra malu-malu. Saudara kembar laki-laki Sherena muncul bergabung dengan mereka dengan mulut belepotan gula, tangan kanannya menggenggam donat bergula, sepertinya Inez harus menyimpan makanan di tempat yang lebih aman.

”Dia malu bertemu Om yang tampan ini!” ledek Inez. Ketiganya tertawa.

Kendra terlihat berbincang dengan Oma di halaman belakang. Shelomita turun dengan penampilan santainya, rok mini dan T-shirt.

”Mereka lagi ngomong apa sih” tanya Shelomita sembari mengacak rambut Sherena dan mencubit pipi tembam Adrian. Lahirnya anak kembar di keluarga mereka merupakan kejutan terindah, sepertinya sebentar lagi Inez dan Denis butuh baby sitter untuk anak-anak mereka.

”Gak tahu..” jawab Denis pendek.

”Jangan-jangan mau ada lamaran?”seloroh Inez. Pipi Shelomita menjadi kemerahan seperti tomat.

”Tuh kan..ada yang malu-malu!” ledek Denis yang dibalas pukulan pelan Shelomita. Oma dan Kendra menghampiri mereka.

”Kita jalan sekarang yuk!” ajak Kendra. Shelomita menatapnya bingung sampai ia ditarik oleh Kendra keluar rumah.

”Sekarang aku tenang menyerahkannya pada bocah itu!” gumam Oma. Inez dan Denis memandangnya.

”Tapi pria muda yang Anda sebut bocah itu sudah dua puluh dua tahun,Oma..” ralat Denis. Oma memandangnya maklum dan meninggalkan mereka.

”Jadi..kamu ngomong apa aja sama Oma?” tanya Shelomita sesampainya mereka di kedai mie pinggir jalan, tempat mereka pernah makan mie bersama Tristan dan Sarah.

”Apa aja..”elak Kendra. Shelomita menatapnya sebal.

”Kamu kan udah dua puluh satu tahun jadi...”.

”Udah gue bilang, gue bosen makan di sini!” omel seorang cewek yang baru saja masuk bersama seorang cowok yang amat familiar. Kendra dan Shelomita menatap mereka.

”Terserah gue..lo mau gue bayarin, gak mau pergi sana, cari tempat makan sendiri!” balas Tristan tak kalah ramai. Keduanya baru diam saat melihat Kendra dan Shelomita.

”Dunia emang sempit!” Lagi-lagi kalian berdua!Empat tahun lalu begitu, sekarang begitu lagi!” seloroh Tristan yang langsung duduk di depan Kendra, Sarah mengikutinya.

”Kalian masih sering berantem?” tanya Shelomita. Tristan dan Sarah kembali bertengkar kecil.

”Jadi..kamu mau bilang apa tadi?” tanya Shelomita pada Kendra. Kendra berubah gugup.

”Emang tadi aku bilang apa?” tanya Kendra balik. Shelomita memasang tampang sebal.

”Sampe sekarangpun masih gengsi..” ledek Tristan dan Sarah bersamaan.

THE END




Gue tulis cerita ini untuk mengganti kesendirian gue di sekolah dulu......
Gue lagi bikin lanjutan cerita ini, tapi dengan tokoh baru, yup cerita yang baru tentang Sherena di usia enam belas tahun, tapi Shelomita dan Kendra akan gue munculin nanti..Oh..ya..ada sesuatu yang gue buat berdasarkan cerita ini, salah satu rahasia gue dan menunggu untuk dikuak, and start to countdown!Up Cloce!

Xoxo, GossipGirl















Komentar

Postingan populer dari blog ini

Matahari dan Bulan

  Jakarta, 18 November 2023 ''Tidaklah mungkin bagi matahari mengejar bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Masing-masing beredar pada garis edarnya". QS : Yasin ayat 40 Aku tidak terlalu suka cuaca panas, aku melirik ponsel, tertera suhu saat ini 33 derajat celcius. Aku memilih nongkrong di Sedjuk Bakmi dan Kopi, salah satu coffee shop di daerah Kemang. Waktu masih pukul 11.00 Wib saat aku tiba di tempat agak tersembunyi di daerah Kemang Utara ini. Rencananya aku akan bertemu Mr. T hari ini.  Setelah memesan kopi dan camilan, aku mulai membuka laptop, berencana kembali melakukan hal yang aku suka, yaitu blogging. Ada sesuatu yang telah terjadi di November ini, menjelang hari ulang tahunku, sesuatu yang buruk telah terjadi, itulah yang menyebabkan aku kembali membuka laman blogku untuk menuliskan sesuatu yang aku pikir semua orang harus tahu kenyataannya suatu hari nanti.  Jakarta, 8 Februari 2022 Semua berawal pada kedekatanku dengan salah rekan kerjaku bernam

Magelang, 2023

 

ONE FINE DAY

        Jakarta, 13 Februari 2017          Cuaca : Gerimis         Mood  : Happy           H-1 Valentine's Day Gue kenal Val's Day waktu kelas satu smp. Waktu itu jam sekolah gue siang, di luar sekolah banyak tukangan yang jual bunga kertas warna  merah sama pink yang disemprot pake pengharum ruangan. Kocak banget deh kalo inget, bunga dari kertas krep. Berdasarkan majalah remaja yang gue baca saat itu, Val's Day adalah hari kasih sayang. Dan menurut sumber yang gue baca, banyak banget hal di luar negeri yang katanya menyimpan asal muasal Val's Day. But, faktanya...gue ga percaya hal-hal kayak gitu. Masuk di usia puber, gue melihat temen-temen gue diberi dan memberi hadiah coklat ke orang yang ditaksir. Kalau gue sih mendeskripsikan ini karena coklat rasanya pahit manis, jadinya ya merepresentasikan rasa cinta atau sayang ke seseorang dimana pasti gak bakal selalu berjalan mulus, ngaku...? Tapi kalau gue di masa puber ini melihat bisnis di musim Fe